Hubungan antara Mesir dan Turki telah tegang selama hampir 10 tahun setelah kekuasaan Ikhwanul Muslimin dan mantan Presiden Mesir Mohamed Morsi digulingkan.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry bahwa Turki “menggunakan pengaruhnya untuk memperpanjang kesepakatan yang mengizinkan ekspor biji-bijian dari Ukraina,” dalam perannya sebagai mediator antara Moskow dan Kyiv.
Fakta bahwa Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry dan Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu dapat mengadakan konferensi pers bersama di Kairo pada Sabtu (18/3) menunjukkan perubahan besar antara kedua negara setelah hampir 10 tahun saling tuduh dan hubungan yang rusak setelah penggulingan mantan presiden Ikhwanul Muslimin Mohamed Morsi pada Juli 2013.
Kedua diplomat itu mengisyaratkan bahwa hubungan diplomatik penuh akan segera dipulihkan di tengah meredanya permusuhan di seluruh Timur Tengah menyusul kesepakatan baru-baru ini antara Iran dan Arab Saudi untuk melanjutkan hubungan diplomatik yang terputus pada 2016.
Salah satu poin penting yang ditekankan oleh Cavusoglu kepada wartawan di Kairo adalah konsekuensi berbahaya dari konflik Rusia-Ukraina dan perlunya untuk menghindari konflik yang lebih serius — yang berpotensi mencetuskan perang nuklir.
Dia mengatakan bahwa Ankara telah berusaha mendapatkan persetujuan Rusia untuk memperbarui kesepakatan biji-bijian Laut Hitam yang memungkinkan Ukraina mengekspor biji-bijian ke berbagai negara Timur Tengah dan Dunia Ketiga, termasuk Mesir.
Mevlut Cavusoglu mengatakan bahwa sementara Turki menjadi tuan rumah pembicaraan mengenai situasi di pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia Ukraina, negara itu juga melakukan upaya intensif dengan Rusia untuk mengizinkan perpanjangan perjanjian penjualan biji-bijian lewat Laut Hitam.
Duta Besar Rusia untuk PBB mengatakan bahwa Moskow setuju untuk memperpanjang perjanjian selama dua bulan, bukan 120 hari seperti yang diminta.
Sosiolog politik Mesir Said Sadek mengatakan kepada VOA bahwa ada langkah yang sedang dilakukan di Timur Tengah untuk meredakan ketegangan yang telah terjadi antara negara-negara di kawasan itu—seperti Mesir dan Turki—dan bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sangat ingin menunjukkan kemampuannya untuk menjembatani kesenjangan tersebut antara berbagai negara yang bermusuhan, baik secara regional maupun internasional.
“Turki ingin mengatakan bahwa ‘Kami adalah kartu penting dalam urusan politik regional dan internasional, dan kami memainkan peran strategis yang sangat penting sebagai penengah antara Timur dan Barat, terlepas dari kenyataan bahwa kami anggota NATO. Kami juga bisa berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin ketika banyak pemimpin Barat sekarang ini tidak dapat berbicara langsung dengan Putin," papar Sadek.
Paul Sullivan, seorang analis Timur Tengah di Dewan Atlantik (Atlantic Council) yang berbasis di Washington, mengatakan kepada VOA bahwa perpanjangan perjanjian biji-bijian Laut Hitam merupakan bantuan besar bagi Mesir, karena “perang Rusia di Ukraina telah menyebabkan guncangan besar pada makanan, energi dan barang-barang lainnya.”
“Inflasi Mesir yang tak terkendali dapat ditelusuri kembali ke perang itu, yang menciptakan beban besar bagi rakyat Mesir,” kata Sullivan, seraya menambahkan, “bahkan para orang tua di lingkungan pedesaan memahami bagaimana perang itu telah membuat hidup mereka lebih sulit.”
Mesir membeli banyak biji-bijian dan minyak bunga matahari dari Ukraina dan merupakan importir gandum terbesar di dunia, bahkan melebihi Tiongkok.
“Mempertahankan kesepakatan Laut Hitam. Penting untuk kesehatan dan kesejahteraan semua warga Mesir yang mengalami cukup guncangan akhir-akhir ini dan membutuhkan keringanan dari harga pangan dan kerawanan pangan,” tambah Sullivan.
Anggota Parlemen Mesir Mustafa Bakri mengatakan kepada TV al Arabiya milik Saudi bahwa memulihkan hubungan normal dengan Turki penting karena beberapa alasan strategis, termasuk “menggunakan hubungan baik Turki dengan Ethiopia untuk meredakan ketegangan atas Bendungan Renaisans,” yang menyebabkan kekhawatiran di Mesir karena potensinya untuk mengganggu aliran air di Sungai Nil.
Ketegangan terpendam antara Kairo dan Ankara tentang siapa yang menguasai sebagian Libya dan sumber daya gas alam bawah laut di Mediterania timur juga telah membuat hubungan antara kedua negara menjadi sengit. Hubungan yang lebih baik antara kedua negara juga dapat menghindarkan potensi konflik di kawasan tersebut. [lt/jm]
Forum