Gerakan feminisme yang berfokus pada kemajuan perempuan dalam berbagai bidang telah lama ditemukan dalam karya-karya sastra Indonesia. Meski tidak semua penulis buku berani secara terbuka menyatakan sebagai feminis, karya-karya mereka sudah banyak menyajikan isu dan tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia.
Perjuangan perempuan Indonesia untuk kemajuan telah ditemukan dalam karya-karya sastra sedini tahun 1800-an.
Professor Aquarini Priyatna, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Bandung mengatakan karya Raden Ayu Laksminingrat adalah salah satu contoh penulis perempuan Indonesia yang berupaya mendidik masyarakat melalui tulisan-tulisannya.
“Raden Ayu Laksminingrat itu yang sudah menerjemahkan tulisan-tulisan dari cerita anak Belanda atau tulisan-tulisan Belanda ke dalam Bahasa Sunda, yang menurutnya adalah cara untuk mendidik orang-orang sunda di sekitarnya karena ia anak bupati dan kemudian ia menjadi istri bupati. Jadi sudah sejak lama ada,” kata Aquarini.
Adanya gerakan feminisme dalam sastra juga diakui penulis Indonesia Leila Chudori, yang novelnya “Laut Bercerita” memenangkan penghargaan SEA Write Award pada tahun 2020. Namun, ia mengatakan, penulis laki-laki mendominasi pemaparan perempuan pada awal-awal kesusastraan Indonesia.
“Kalau melihat karya sastra, sayangnya pada awal-awal, mungkin sampai sekarang kesusastraan Indonesia, dari segi kuantitas penulis lebih banyak lelaki, jadi penulisan tentang tokoh-tokoh perempuan yang mempersoalkan kesetaraan itu biasanya masih disuarakan, ditulis, dari pemikiran lelaki,” jelas Leila.
Leila Chudori mencontohkan karya Sutan Takdir Alisyahbana yang membuat dua tipe perempuan Tuti dan Maria pada “Layar Terkembang.” Masing-masing tokoh itu menggambarkan sosok yang lemah dan mandiri.
Pada era modern, terutama tahun 1990-an, penulis-penulis perempuan Indonesia mulai banyak bermunculan, meskipun jumlahnya tidak sebanyak penulis laki-laki.
Leila Chudori menekankan isu dan penggambaran perempuan dalam karya sastra masih banyak sebagai korban. Ia mencontohkan karya Titi Said, “Fatima,” yang di filmkan oleh Syumanjaya. Novel itu menyoroti perempuan-perempuan sebagai korban kekejaman tentara Jepang.
Isu-isu feminisme yang diangkat dalam kesusastraan Indonesia, menurut Aquarini Priyatna, hingga kini sangat beragam, tergantung pada ruang lingkup di mana mereka berada. Beberapa kalangan menganggap isu yang dibawakan oleh penulis perempuan tidak penting karena berawal dari masalah rumah tangga, namun ada pula penulis perempuan yang mendasarkan karyanya pada riset.
“Scholar feminist itu bisa menangkap jejak-jejak teori, di dalam tulisan Intan Paramaditha dan itu menurut saya menarik, karena dalam karya Intan ada kombinasi antara scholar dan fiction writer (penulis fiksi), hal yang seperti itu juga ada pada karya Ayu Utami dan Mba Leila karena jurnalis dan ada research skill yang kemudian menjadi bagian penting dari proses kreatifnya. Jadi, kalau ditanya soal isu, tidak pernah spesifik, selalu berkembang,” jelasnya.
Meskipun isu feminisme yang disampaikan penulis perempuan sudah meluas, Aquarini Priyatna dan Leila Chudori mengakui penulis perempuan masih banyak menghadapi tantangan gender. Ini bisa dijumpai pada karya yang memaparkan seksualitas.
"Perlakuan pembaca, maupun sebagian pembaca dan sebagian akademisi atau dunia sastra sendiri terhadap karya perempuan yang membicarakan tubuh, dan membebaskan tubuhnya, eksperimen tubuhnya selalu mendapat sorotan yang jauh lebih mengulik, dan mengeluarkan istilah-istilah yang meremehkan," kata Leila Chudori.
Cara pandang mengenai kekerasan seksual dan perlakuan seksual juga menjadi sorotan para peneliti feminisme dalam karya sastra Indonesia. Aquarini Priyatna mengingatkan jejak kekerasan terhadap perempuan pada sejumlah karya sastra yang dibuat penulis terkenal laki-laki, diterima dengan luas. Ia juga mencemaskan naturalisasi atau diterimanya kekerasan lewat karya-karya yang dianggap romantis. [my/ka]