Indonesia adalah negara penghasil batu bara terbesar di dunia, dan masih sangat bergantung pada sumber daya ini untuk memenuhi kebutuhan listrik di dalam negeri dan negara-negara tetangganya di Asia. Namun dunia sudah berkomitmen mulai mengurangi bahkan menghentikan penggunaan batu bara demi menciptakan lingkungan yang lebih ramah dan berkesinambungan. Bagaimana Indonesia menyelaraskan dua hal yang bertentangan ini.
Presiden Joko Widodo belum lama ini mencabut izin ribuan penambang energi dan mineral, termasuk ratusan penambang batu bara.
Sebagian kalangan memandang tindakan ini sebagai salah satu bentuk dari realisasi komitmen Indonesia atas tekad untuk mengurangi emisi karbon pada Konferensi Perubahan Iklim PBB, COP26 di Glasgow, November lalu. Tapi pencabutan ini juga bertepatan dengan masalah pasokan batu bara di dalam negeri sehingga mengundang pertanyaan banyak kalangan.
Sampe Purba, salah seorang pakar energi dan mineral Indonesia, mengatakan batu bara sampai saat masih menjadi tulang punggung negara, sekitar 75 persen penggunaan batu bara adalah untuk listrik, dan 75 persen kebutuhan ini adalah untuk menerangi Pulau Jawa dan Bali. Lebih dari 75% pendapatan PLN berasal dari dua wilayah ini.
"Untuk yang existing menurut saya akan tetap berjalan hanya memang untuk teknologi yang baru bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan yang sudah ada. Ya kita jalan ke energi bersih tapi pada saat yang sama, energi batu bara yang kita pakai itu dengan teknologi yang lebih bersih, dengan pengujian, selain juga energi kita lebih kita diversifikasi," ujarnya.
Rizal Kasli, Ketua Perhimpunan Ahli Tambang Indonesia (PERHAPI) mengatakan berdasarkan data geologi Indonesia tahun 2021, cadangan batu bara Indonesia adalah 38,8 miliar ton – yang terdiri dari 4 kategori kalori batu bara; rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Dua kategori terakhir sangat kecil jumlahnya, dan yang diributkan baru-baru ini di dalam negeri adalah kategori sedang, yang jumlahnya 21,8 miliar ton dan akan habis pada tahun 2060 jika Indonesia tidak melakukan eksplorasi tambahan.
Rizal Kasli mengatakan bahwa hal ini sesuai dengan komitmen pemerintah pada perjanjian perubahan iklim, Paris Agreement dan COP26 Glasgow, bahwa Indonesia akan mencapai target nol emisi karbon tersebut pada tahun 2060.
“Pemerintah sendiri atau PLN punya road map untuk menghentikan PLTU-PLTU batu bara terutama yang teknologi lama yang dianggap tidak ramah lingkungan sehingga secara total sampai 2060 nanti akan ada pengurangan pemakaian batu bara yang signifikan, ini harus digantikan oleh sumber energi lainnya sehingga bisa menjamin kebutuhan energi masyarakat dan industri,” tukas Rizal.
Para pakar batu bara Indonesia sepakat perjalanan Indonesia menuju energi ramah lingkungan masih panjang dan memerlukan pemahaman negara-negara maju dan negara lainnya untuk mencapai tujuan masyarakat internasional.
“Salah satu poin penting dari sasaran-sasaran yang berkesinambungan atau sustainable goals adalah no watt left behind (tidak ada kebutuhan listrik yang terabaikan), jadi kalau kita memang masih butuh energi entah itu dari energi listrik atau sumber daya alam kita negara-negara lain juga harus mempertimbangkan hal ini sebagai semacam relaksasi bagi kita, kita bertekad untuk 2060, tapi ya kita harus diberi kesempatan, teknologi, market, bantuan sehingga kita bisa sama-sama maju,” tambah Purba.
Pemerintah Indonesia sebelumnya juga membela kebijakan penutupan ribuan pertambangan itu adalah karena perusahaan dan pengusaha pertambangan tidak memenuhi komitmen operasi mereka, baik dari sisi produksi maupun kepatuhan memenuhi kewajiban kepada negara. [my/em]