Video seorang laki-laki berusia 75 tahun yang didorong polisi di Buffalo, New York, viral pekan lalu. Dua polisi yang terlibat dalam aksi itu telah didakwa melakukan serangan tingkat dua.
Namun, Presiden Donald Trump, Selasa (9/6), kembali memicu kontroversi dengan mencuit video dari kantor berita sayap kanan yang menyajikan teori konspirasi yang tidak terbukti bahwa seorang laki-laki sedang berupaya memblokir peralatan komunikasi polisi.
Trump mengatakan laki-laki merupakan provokator ANTIFA, dengan mengatakan “ia tersungkur lebih keras dibanding dorongannya.”
Cuitan Trump ini merupakan yang terbaru dari serangkaian pernyataan yang telah menimbulkan kemarahan dan perpecahan ras di negara yang selama lebih dari dua minggu telah diguncang aksi kerusuhan terkait kematian George Floyd, laki-laki kulit hitam yang meninggal di tahanan polisi setelah sebelumnya lehernya ditekan dengan lutut polisi selama hampir sembilan menit.
“Ini bukan presiden yang memiliki kemampuan untuk mengkaji kekacauan yang terjadi di negara ini dan kemudian berupaya menemukan cara untuk mengobati luka dan menyatukan orang-orang secara lebih luas," kata Norman Ornstein, peneliti di American Enterprise Institute.
"Apa yang dinilainya keberhasilan adalah kalau ia bisa menyerang secara lebih keras orang-orang yang kritis terhadap dia dan kemudian memicu perpecahan lebih tajam sekaligus menyemangati basis pendukungnya," ujarnya.
Jajak pendapat terbaru menunjukkan 76 persen warga Amerika – termasuk 71 persen warga kulit putih – menyebut rasisme dan diskriminasi sebagai “masalah besar” di Amerika, dibandingkan jajak pendapat serupa pada 2015. Pada saat itu hanya 50 persen warga yang menilai kedua isu itu sebagai masalah besar.
“Banyak warga kulit putih yang menghadapi realita bahwa mereka merupakan bagian dari sistem yang mungkin memberi keuntungan atau manfaat bagi mereka, tetapi bagi pihak lain justru menimbulkan dampak yang sangat mengerikan untuk meraih keadilan sosial," kata Jonathan Metzl, pakar sosiologi di Vanderbilt University.
Metzl adalah penulis buku “Dying of Whiteness, How the Politics of Racial Resentment Is Killing America's Heartland."
Survei juga menunjukkan bahwa 78 persen warga Amerika mendukung aksi demonstrasi dan 57 persen percaya polisi bersikap lebih tidak adil ketika berurusan dengan warga kulit hitam.
Pergeseran sikap ini menimbulkan perubahan di lapangan. Sejumlah wali kota setuju untuk menyalurkan anggaran bagi polisi untuk layanan sosial, gagasan yang beberapa tahun lalu dianggap radikal.
Namun dalam pertemuan dengan sejumlah pejabat penegak hukum pada Senin (8/6), Trump menolak seruan untuk mengurangi anggaran kepolisian dan pandangan tentang rasisme yang melembaga di kalangan penegak hukum.
“Kadangkala kita meilhat hal-hal buruk seperti yang kita saksikan baru-baru ini, tetapi 99,9 persen - atau 99 persen lah – menurut saya polisi adalah orang yang sangat, sangat luar biasa," ujar Trump.
Juru bicara Gedung Putih mengatakan Trump sedang melawan rasisme dengan memastikan kesempatan ekonomi bagi warga kulit hitam Amerika dan reformasi peradilan pidana.
Presiden Trump telah berbicara dengan keluarga George Floyd melalui telepon, tetapi tidak melakukan pertemuan dengan wakil-wakil komunitas atau demonstran kulit hitam.
Sementara itu penantangnya dari Partai Demokrat, Joe Biden, telah bertemu dengan keluarga George Floyd dan para pemimpin komunitas kulit hitam.
Beberapa jajak pendapat menunjukkan warga Amerika melihat Biden lebih berempati dibanding Trump.
“Ia harus bisa menyeimbangkan antara meraih dukungan dari para penegak hukum seperti pada masa lalu, sekaligus menyampaikan seruan yang tegas bagi perlunya transformasi dramatis sehubungan polisi dan aksi kekerasan polisi di negara ini," kata Norman Ornstein.
Biden telah mengecam aksi kerusuhan dan juga menolak seruan untuk memangkas anggaran kepolisian. Ia lebih memusatkan perhatian pada reformasi polisi dan menjanjikan “tindakan untuk menyudahi rasisme sistemik” di Amerika. [em/jm/ft]