Cerita pendek (cerpen) berjudul "Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya" yang bertema LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) dan berisi kata-kata vulgar yang diunggah di suarausu.co pada 12 Maret 2019 menuai kecaman dari pihak rektorat Universitas Sumatera Utara (USU).
Akibat cerpen LGBT itu, rektorat USU mengganti seluruh struktural redaksi SUARA USU atau lembaga pers mahasiswa yang merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus tersebut.
Penulis cerpen LGBT, Yael Stefany Sinaga, yang juga Pimpinan Umum SUARA USU, menyayangkan kebijakan yang dilakukan rektorat USU. Yael menilai tulisannya tidak bermaksud untuk mengkampanyekan orientasi seksual tertentu. Menurutnya, tulisan cerpen tersebut ingin menunjukkan bahwa masih ada diskriminasi terhadap kelompok LGBT.
"Tidak ada, karena pure saya tidak mengkampanyekan LGBT. Saya tidak mengajak orang untuk menjadi LGBT. Tapi saya ingin menunjukkan kalau ini ada diskriminasi terhadap LGBT. Aku mau menyampaikan kalau kita jangan pernah diskriminasi dengan golongan minoritas," katanya di Medan, Selasa (26/3).
Konten bertema LGBT yang kini viral ternyata bukan unggahan pertama di SUARA USU. Pada 2017, cerpen dengan tema yang sama juga pernah diunggah SUARA USU di laman webnya. Namun, Yael menampik jika cerpen tersebut sengaja dibuat untuk mendukung LGBT. Ia menegaskan tidak ada maksud tujuan apapun di cerpen yang ditulisnya.
Yael menuturkan pihak kampus melarang SUARA USU mempublikasikan artikel mengenai LGBT setelah penelusuran mereka menemukan beberapa konten yang hampir sama.
“Aku hanya ingin menyampaikan, ya jangan ada diskriminasi. Rektor tetap kukuh LGBT itu dilarang. Apalagi cerpen-cerpen seperti ini dipublikasikan di ranah akademis, katanya itu tidak pantas. Rektor memang tidak terima tentang LGBT. Mereka anggap di mana pun LGBT itu seperti hina," jelasnya.
Sementara Pimpinan Redaksi SUARA USU, Widya Astuti, mengatakan penggantian seluruh jajaran SUARA USU oleh pihak kampus telah menunjukkan bahwa rektorat telah mengintervensi mereka terlalu jauh. Widya juga menilai tidak ada yang salah dengan cerpen bertema LGBT.
"Aku tidak merasa ada kesalahan, makanya dipertahankan itu untuk diturunkan (diunggah). Sebenarnya kalau itu dikaji dan ada kesalahan, aku tidak akan pertahankan seperti sekarang. Tapi karena alasannya rektor USU untuk menurunkan cerpen tersebut adalah kami tidak pantas untuk memuat hal-hal yang seperti itu, membuat aku mempertahankan ini," papar Widya kepada VOA.
"Sebenarnya di wilayah akademik tidak ada yang tidak pantas untuk dikaji. Aku merasa tidak ada yang salah, karena kami bukan mau mengkampanyekan LGBT," kata Widya menambahkan.
Terkait dengan isi cerpen yang mengandung kalimat-kalimat vulgar, Widya menuturkan itu merupakan hal lumrah dalam sebuah karya sastra. Atas dasar tersebut pihak rektorat USU kemudian memecat seluruh jajaran redaksi SUARA USU dan menggantinya dengan mahasiswa lain. Para jajaran redaksi SUARA USU juga diberi waktu 2 hari untuk mengemas barang-barang di sekretariat lembaga pers mahasiswa tersebut.
"Kata-kata vulgar itu juga, menurut kami, dalam karya sastra sebenarnya tidak masalah. Kami tidak merasa itu terlalu vulgar. Kata “sperma” dan “rahim” yang dianggap vulgar. Kami pikir itu ada di buku-buku pelajaran seperti biologi juga banyak. Itu bukan permasalahan,” tutur Widya, sambil menambahkan banyak karya satra Indonesia dengah bahasa yang lebih vulgar dari cerpen yang mereka terbitkan.
“Rektorat sebenarnya tidak boleh untuk membubarkan kami secara keanggotaan. Kalau misalnya SK Suara USU dia cabut mungkin ada jalur ke sana, karena kami punya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang disepakati waktu bentuk organisasi. Dan di AD/ART mengatur dibubarkan pengurusannya. Aku pikir rektor intervensi kami terlalu jauh," ucap Widya.
Di lain pihak, Rektor USU Runtung Sitepu menjelaskan seluruh mahasiswa yang berada di dalam UKM SUARA USU, terutama penulis cerpen kontroversial tersebut, Yael Stefani Sinaga, juga telah dimaafkan dan tidak menerima sanksi.
"Nasibnya sampai hari ini, saya mengatakan masih memaafkan mereka dan kembali kalian belajar di kelas. Cepat kalian tamat karena mereka tetap tidak menyatakan bersalah, sedangkan kita semua sudah ramai-ramai membicarakan itu, termasuk ahli sastra," ungkapnya.
Usai perombakan struktural redaksi SUARA USU, Runtung berharap kejadian serupa tidak terjadi lagi. Diharapkan SUARA USU sebagai laboratorium tempat pembelajaran bagi mahasiswa yang punya bakat jurnalis. Konten-konten yang diunggah juga mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh kampus.
"SUARA USU tetap ada, orangnya diganti dan tidak ada sanksi-sanksi lain kepada mahasiswa itu. UKM itu SK rektor, kalau tidak bisa membawa nama baik USU tentu kita setiap saat bisa mengevaluasi," pungkasnya. [aa/em]