Puluhan pesepeda di Jakarta menggelar acara bertajuk “Gowes for Democracy” sebagai pesan solidaritas untuk rakyat Myanmar. Mereka mengayuh sepeda dari Lot 8 Sudirman Central Busines District (SCBD) hingga ke Kedutaan Besar Myanmar di Jalan H. Agus Salim, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 17 April lalu.
Para peserta berasal dari Asia Democracy Network, Asia Justice and Rights, Aliansi Jurnalis Independen, Anak Haram Jalanan Jakarta, Hakasasi.id, Human Rights Working Group, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.
Rupanya acara ini menyisakan kisah pahit bagi Indra Yoga dan atasannya yang bekerja untuk kantor berita Taiwan Central News Agency, ketika meliput acara tersebut.
Kepada VOA, Yoga bercerita ketika dirinya baru mengeluarkan kamera untuk memotret sudah ada larangan untuk memotret.
Yoga dan atasannya mematuhi karena polisi melarang kegiatan tersebut dilakukan di sana. Panitia dan peserta acara "Gowes for Democracy" pindah ke jalan.
Di sana lah Yoga dan atasannya mulai melakukan kegiatan jurnalistik sampai akhirnya didatangi oleh polisi berpakaian preman.
"Hanya sekitar 2-3 shoot, kami dikerubungi sama sekitar 5-6 orang. (Mereka) mulai membentak. 'Ini siapa ini? Ternyata WNA yah? Punya izin kerja nggak di sini. Ini WNA rekam-rekaman gini ada izinnya nggak?' Terus aku tanya bapak nahan-nahan kami, Bapak siapa? ‘Saya polisi, dia bilang begitu’," kata Yoga.
Sekelompok polisi itu, lanjut Yoga, kemudian memeriksa surat dan dokumen identitas rekan Yoga yang merupakan warga negara Taiwan.
Karena tidak membawa surat izin kerja dalam bentuk fisik, perempuan warga Taiwan itu kemudian berusaha membuka komputer jinjingnya. Karena agak lama, polisi kemudian mendorong perempuan Taiwan ini dan ingin membawanya ke kantor polisi.
Yoga berinisiatif menelepon seorang kenalannya di Kementerian Luar Negeri untuk menceritakan apa yang sedang terjadi terhadap dia dan rekannya. Ketika pejabat di Kementerian Luar Negeri itu ingin memberikan penjelasan melalui ponsel Yoga, polisi menolak.
Yoga kemudian memperlihatkan izin tinggal dan izin kerja rekannya di Indonesia kepada polisi yang baru akan habis masa berlakunya pada Juni tahun ini.
Yoga dan polisi sempat cekcok karena dia dan atasannya menolak dibawa ke kantor polisi.
Polisi kemudian membawa Yoga dan rekannya ke bagian intelijen di Markas Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Polda Metro Jaya).
Mereka, kata Yoga, juga sempat mengambil ponsel dan menghapus video ketika mereka sempat ditahan ketika di SCBD.
Yoga mengatakan setelah ditanyai dan direkam identitas mereka, pejabat Kementerian Luar Negeri kenalan Yoga menelepon. Pejabat itu menjelaskan atasan Yoga memiliki izin tinggal dan izin kerja resmi untuk melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia.
Setelah telepon tersebut, polisi lalu mengembalikan semua dokumen identitas dan ponsel milik Yoga dan atasannya.
Itu bukan pengalaman pertama Yoga mendapat kekerasan dan intimidasi dari aparat keamanan saat melakukan kegiatan jurnalistik.
Kasus intimidasi ini terjadi meski Indonesia naik enam peringkat ke posisi 113 dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2020. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia mengungguli Malaysia (119), Thailand (137), Filipina (138), Myanmar (140), Kamboja (144), dan Singapura (160).
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Erick Tanjung menegaskan tindakan aparat kepolisian menangkap dua jurnalis tersebut saat aksi Solidaritas Myanmar sebuah pelanggaran.
"Ini adalah pelanggaran yang sangat mencoreng kebebasan pers. Tentu ini juga mencoreng demokrasi di Indonesia," ujar Erick.
Erick menegaskan tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan. Karena itu, AJI telah mengecam intimidasi yang dilakukan polisi terhadap kedua jurnalis itu. Kekerasan ataupun intimidasi yang dilakukan oknum aparat kerap terjadi terhadap wartawan yang sedang menjalankan pekerjaannya.
Catatan AJI menunjukkan pada 2020 terjadi 84 kasus kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di Indonesia. Paling banyak pelakunya adalah aparat kepolisian.
Erick menambahkan lembaganya mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Jenderal Listyo Sigit lebih profesional dan memberikan sanksi tegas terhadap aparat kepolisian yang menghalangi kerja jurnalis hingga melakukan kekerasan.
Menurut Erick, untuk memberikan pemahaman kepada aparat kepolisian, AJI telah menyurati Kapolri untuk meminta bertemu. Kalau permohonan itu dikabulkan, AJI akan meminta Polri mengusut tuntas semua kasus intimidasi dan kekerasan yang dialami jurnalis.
Hingga kini tambahnya kasus kekerasan atau intimidasi terhadap wartawan yang dilakukan oknum kepolisian belum ada yang sampai ke pengadilan. [fw/ft]