Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret, mengakui prestasi perempuan tanpa memandang ras, etnis, bahasa atau tingkat sosial dan ekonomi. Hari itu awalnya ditetapkan untuk memperingati aktivitas gerakan buruh pada peralihan abad ke-20 di Amerika Utara dan di berbagai penjuru Eropa, namun kemudian beralih menjadi hari untuk memperingati pergerakan memperjuangkan hak-hak perempuan.
Reporter VOA Greta Van Susteren mencoba menelusuri bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi baru-baru ini menyangkut perempuan, pelecehan seksual dan kepemimpinan di dunia.
Gerakan #MeToo dan #NoMore di media sosial menjadi sorotan pada peringatan Hari Perempuan Internasional. Meski berawal dari keprihatinan mengenai perlakuan terhadap perempuan di industri film Hollywood, gerakan ini sebetulnya merupakan cerminan keprihatinan di berbagai sektor kehidupan lain di Amerika.
Paling tidak itu diakui Susan Brooks, ketua Komisi Etika DPR AS. “Sebagai ketua Komisi Etika DPR, kami tentunya menangani hal itu. Saya bangga menjadi bagian dari usaha bipartisan di Kongres untuk memperbaiki proses-proses yang akan memungkinkan orang-orang berani mengungkapkan dan mengeluhkan pelecehan seksual,” katanya.
Baca juga: Hollywood Hadapi Ketidaksetaraan Gender
Kampanye media sosial yang viral di AS ini bahkan menjalar ke luar AS, seperti Pakistan. Kepala Biro VOA di Islamabad, Ayesha Tanzeem, mengatakan, "Ketika gerakan #MeToo dimulai di AS, dampaknya muncul di Pakistan dan di kota-kota besar di Afghanistan. Banyak perempuan di Pakistan memposkan kisah-kisah #MeToo mereka. Mereka mengatakan, mereka mengalami penderitaan yang sama.”
Menurut Kamissa Camara dari Partners Global, media sosial terbukti berperan penting dalam usaha memperjuangkan hak-hak perempuan.
"Saya melihat semakin banyak kasus kekerasan dalam keluarga yang diunggah melalui Facebook atau Twitter. Jadi perempuan-perempuan itu tahu apa yang dihadapi perempuan-perempuan lain di rumah mereka atau di luar rumah mereka terkait pelecehan seksual. Apa yang mereka lakukan adalah, mereka berbagi cerita, memberi saran dan menjadi pembimbing satu sama lain dalam menghadapi situasi seperti itu.”
Pada 1995, ibu negara ketika itu, Hillary Clinton, menorehkan catatan penting mengenai hak perempuan dalam Konferensi PBB mengenai perempuan di Beijing.
"Jika ada pesan yang bergaung dalam konferensi ini, pesan ini seharusnya adalah hak asasi manusia adalah hak asasi perempuan, dan hak perempuan adalah hak asasi manusia," jelasnya.
Namun dua dekade kemudian, masih ada banyak tantangan yang dihadapi perempuan, bahkan di negara maju sekalipun.
Susan Brook yang juga menjabat sebagai ketua bersama Kaukus Perempuan di Kongres mengatakan, "Kita memerlukan lebih banyak perempuan memegang jabatan di pemerintahan. Ini yang tampaknya Amerika Serikat secara relatif terbelakang dibanding negara-negara lain. Negara-negara lain memiliki lebih banyak perempuan di parlemen dan Kongres ketimbang di Amerika. Jadi kami ingin lebih banyak perempuan memimpin pada semua tingkat pemerintahan.”
Menurut Kamissa Camara ada beberapa studi empiris yang menunjukkan, sewaktu perempuan terlibat dalam proses perdamaian, perdamaian yang tercipta berlangsung langgeng dan berkelanjutan, dan isu-isu menyangkut perempuan seperti perkosaan tidak lagi muncul. [ab/lt]