Tautan-tautan Akses

‘Microschool’ di Indonesia, Kecil Tapi Tak Kalah Prestasi


Murid-murid Sekolah Bisa dan hasil kebun hidroponik mereka. (dok. Sekolah Bisa)
Murid-murid Sekolah Bisa dan hasil kebun hidroponik mereka. (dok. Sekolah Bisa)

Belajar bersama di dalam kelompok kecil tidak asing di Indonesia. Tetapi belajar di sekolah yang jumlah muridnya sangat sedikit bukanlah hal umum. Microschool, sekolah semacam itu, kini disebut-sebut sedang marak popularitasnya di AS, terutama setelah pandemi. Bagaimana dengan di Indonesia?

“Sekolah Bisa itu satu kelas cuma maksimal 8 murid, eksklusif sekali ketika belajar. Berada dalam satu ruangan, guru mengajarkan paling banyak 8 murid.” Ini kata Irwan Nurhadi, koordinator sekolah Sekolah Bisa di Bintaro, Tangerang Selatan. Turmudi, yang lulus dari sekolah itu pada tahun 2013, menambahkan, “Soal perhatian ke murid-murid, sangat jelas benar-benar terbagi sama rata.”

Sementara itu Moh. Djodi Hardi Prajuri, yang kini menjadi Tenaga Ahli Bidang Pendidikan di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, mengemukakan, “Kita orientasi ke anaknya, anaknya lebih aktif kalau di dalam kelas kecil.”

Aktivitas murid-murid Sekolah Bisa. (dok. Sekolah Bisa)
Aktivitas murid-murid Sekolah Bisa. (dok. Sekolah Bisa)

Apa yang mereka kemukakan menggambarkan sebagian karakteristik dari apa yang disebut sebagai microschool, seperti yang disebutkan oleh kelompok advokasi Amerika Serikat National Microschooling Center. Jumlah rata-rata murid sekolah itu sekitar 16 orang, yang memungkinkan para pengajarb lebih mengenali para siswa mereka. Juga menurut catatan kelompok tersebut, ada sekitar 1,5 juta murid di 95 ribu sekolah semacam itu di Amerika Serikat.

Sekolah jenis ini beragam bentuk dan operasinya. Ada yang didirikan sebagai sekolah swasta baik terakreditasi atau tidak, sebagai pusat kegiatan belajar yang mengikuti aturan homeschooling (sekolah di rumah) di negara bagian terkait, didirikan oleh guru atau sekelompok orang tua, dengan beragam pula model pendanaannya.

Microschool di Indonesia

Sejauh ini tidak ada data mengenai jumlah microschool maupun muridnya di Indonesia. Irwan memperkirakan jumlahnya bisa mencapai 100 sekolah untuk daerah Jabodetabek. Sekolah Bisa adalah salah satunya.

Irwan Nurhadi, Koordinator Sekolah Bisa (dok. pribadi)
Irwan Nurhadi, Koordinator Sekolah Bisa (dok. pribadi)

Sekolah Bisa bermula dari proyek sosial murid-murid kelas 13 British School Jakarta. Pada tahun 2009, mereka mengunjungi Kampung Bulakan, salah satu kawasan permukiman pemulung, di Tangerang Selatan dan menemukan banyak anak usia SD yang tidak bersekolah, hidup di jalan-jalan antara lain sebagai pengamen, silverman (orang-orang yang mewarnai diri dengan warna perak dan meminta sumbangan), pemulung dan sebagainya.

Pada tahun 2011, British School Jakarta menggandeng The Body Shop Indonesia mendirikan Sekolah Bisa yang menyelenggarakan pendidikan di tingkat SD khusus untuk anak-anak seperti itu. Dan sejak delapan tahun silam, sekolah ini berada di bawah pengelolaan Yayasan Tangan Bagi Sesama, kata Irwan.

Pandemi pada tahun 2020 juga menginspirasi Djodi bersama rekannya untuk mendirikan sebuah microschool di kawasan Depok. Ketika itu, Djodi yang ingin mendalami dunia pendidikan meninggalkan pekerjaan korporatnya dan menjadi guru SD. Atas permintaan murid-muridnya dan orang tua mereka, ia mendirikan Bright Microschool.

M Djodi H Prajuri, tenaga ahli bidang pendidikan di Kemenko Marves (dok. pribadi)
M Djodi H Prajuri, tenaga ahli bidang pendidikan di Kemenko Marves (dok. pribadi)

Informasi mengenai microschool di Indonesia yang minim ketika itu membuatnya membaca lebih banyak mengenai hal tersebut. Tak sedikit orang yang ia tanyai justru mengaku baru pertama kali mendengar tentang microschool. Ia juga mendapati bahwa regulasi bagi sekolah jenis ini belum ada. Jadi meskipun Bright adalah program belajar after school, ia menganggapnya sebagai microschool yang mengadopsi konsep dari Amerika.

“Kalau saya lihat, modelnya cocok sekali ketika dulu pandemi, karena pembelajaran itu di dalam grup kecil. Paparan COVID-nya lebih rendah ... Tetapi juga tidak sendiri sekali. Kalau (murid) sendiri kan tidak ada interaksi, tidak bisa bermain. Jadi pas sekali menurut saya grup belajar kecil, belajar seperti di microschool ini aman, juga dapat bersosialisasi dan berinteraksi,” kata Djodi.

Dana operasional

Menurut catatan National Microschooling Center, microschool di AS mendapatkan dana dari beragam sumber. Selain ada yang mendapat dana dari pemerintah negara bagian, sekolah-sekolah itu memungut bayaran dari orang tua. Sebagian besar, 43 persen, memungut $5.000-$10.000 per tahun, dan 30 persen memungut di bawah $5.000.

Irwan mengemukakan, sepengetahuannya microschool di Indonesia, terutama di wilayah Tangerang Selatan, banyak yang menggratiskan biaya pendidikan, karena pengelola mendedikasikan sekolahnya untuk anak-anak yang membutuhkan.

Sekolah Bisa, yang merekrut lima guru serta empat sukarelawan pengajar dan berkapasitas maksimal 25 murid ini, menggratiskan sepenuhnya biaya pendidikan di sana, termasuk seragam, antar jemput murid bahkan sarapan dan makan siang. “Sumber (dana) operasional itu kita dapatkan dari para donatur secara pribadi ataupun secara korporat,” jelas Irwan.

Sementara itu, untuk membiayai operasionalnya, Bright Microschool memungut bayaran per jam yang hitungannya disesuaikan dengan kondisi muridnya. Murid-muridnya datang dua hingga tiga kali per minggu untuk pertemuan selama dua hingga tiga jam.

Kurikulum

Djodi mengemukakan, murid-muridnya tidak hanya belajar sesuai kurikulum sekolah. “Kita punya kurikulum yang kita rancang sendiri, punya nilai-nilai yang diajarkan, tapi buat menyenangkan hati orang tua, kita juga memberi pelajaran sekolahnya. Kita bantu juga pelajaran sekolahnya. Karena orang tua kan senang anaknya juga meningkat prestasi sekolahnya,” ujarnya.

Sementara itu, Sekolah Bisa menggunakan kurikulum nasional karena di tingkat pendidikan selanjutnya, murid-muridnya ditargetkan untuk belajar bersama anak-anak lulusan SD formal. “Secara kemampuan, kurikulum kita harus memberikan kesetaraan,” tegasnya.

Namun sekolah itu mengombinasikan kurikulum tersebut dengan green curriculum.

“Murid-murid Sekolah Bisa nantinya diharapkan menjadi insan yang ramah terhadap lingkungan, sayang kepada alam semesta, saling menghormati, saling menghargai, bersikap toleran,” kata Irwan.

Kebun hidroponik di Sekolah Bisa. (dok. Sekolah Bisa)
Kebun hidroponik di Sekolah Bisa. (dok. Sekolah Bisa)

Tak Kalah Prestasi

Irwan menambahkan, sebagai microschool, Sekolah Bisa dapat menghasilkan lulusan yang tidak kalah kemampuan akademiknya dengan lulusan dari sekolah formal, termasuk di sekolah-sekolah negeri.

Salah seorang di antara alumni kebanggaan Sekolah Bisa adalah Turmudi. Semasa MTs (madrasah tsanawiyah, setingkat SMP), katanya, “Rankingnya tidak pernah jauh di peringkat lima. Itu malah seperti kejar-kejaran saya dan teman saya, saya pernah ranking satu, kadang ranking dua, tapi ranking tiga sih jarang.”

Turmudi menikmati dan mensyukuri masa bersekolah dengan murid 4-5 orang di kelasnya di Sekolah Bisa.

Turmudi, alumni Sekolah Bisa tahun 2013 (dok. pribadi)
Turmudi, alumni Sekolah Bisa tahun 2013 (dok. pribadi)

Membandingkan pengalamannya setelah menempuh pendidikan formal, ia mengatakan, “Plusnya kami tidak perlu khawatir terhadap bullying atau perundungan yang bisa saja terjadi jika kami bersekolah di sekolah umum, karena memang latar belakang kami yang kurang baik dibandingkan anak-anak lain di luar sana. Dengan siswa yang sedikit dan teman-teman yang saya sendiri sudah tahu bagaimana mereka berteman, bagaimana mereka memperlakukan temannya sendiri, kita tidak perlu khawatir, nantinya kita akan sakit hati, nantinya kita akan marah-marahan, nantinya kita akan down.”

Tidak ada yang ia rasa perlu tutupi mengenai kehidupannya karena latar belakang kehidupannya tak jauh berbeda dengan teman-temannya. Turmudi sendiri berayah seorang buruh bangunan lepas dan ibunya seorang pengamen yang membawanya turut mengamen di jalan-jalan. Karena kendala biaya, ia hanya sebentar menduduki bangku sekolah formal. Keinginan yang besar untuk mengubah nasib membuatnya belajar giat dan bekerja keras, sampai akhirnya ia berhasil masuk sekolah negeri, dan lulus dari SMK jurusan akuntasi. Ia kini bekerja di sebuah perusahaan ritel Jepang.

Meski di Sekolah Bisa ia tidak bisa merasakan kehadiran sekolah dan lapangan yang besar, ruang kelas dan teman yang banyak, ia mengaku senang bersekolah di sana. “Karena memang pilihan kami bukan soal mau sekolah di mana, tapi pada saat itu pilihan kami hanya ingin sekolah,” ujarnya.

Orientasi pada murid

Djodi mengemukakan, di kelas yang kecil, murid-murid memiliki perasaan aman dan nyaman secara psikologis. “Jadi kita mau berpendapat, mau nggak setuju, mau menyampaikan unek-unek, atau kesenangan hatinya, itu nggak mikir gitu, jadi langsung lebih lepas, dan lebih kenal satu sama lain, lebih intim. Jadi anak-anaknya tidak jaim,” jelas pemegang gelar Master Pendidikan dari University of Pennsylvania itu.

Irwan sependapat dengan Djodi mengenai pendekatan dalam belajar di sekolahnya. “... kalau menghadapi anak-anak itu lebih personalized karena memang anak itu, apalagi anak-anak kami, punya keunikan sendiri,” jelasnya mengacu pada latar belakang keluarga mereka. Pendekatan seperti itu, yang membebaskan murid bercerita tentang keluarga atau mengadukan masalah yang sedang dihadapi, membuat sejumlah murid merasa lebih senang ketika berada di sekolah, kata Irwan.

Suasana belajar di kelas Sekolah Bisa. (dok. Sekolah Bisa)
Suasana belajar di kelas Sekolah Bisa. (dok. Sekolah Bisa)

Tantangan

Berdasarkan pengalaman Djodi, ada dua tantangan yang ia hadapi dalam mengelola microschool. Dari sisi operasional dan akademik, ia bahkan melihat tidak terlalu banyak birokrasi, sekolahnya bisa lebih fleksibel dan mudah dikelola. Namun dari sisi bisnis, selain dana, tantangannya adalah belum banyak orang yang mengetahui tentang konsep microschool.

“Apakah orang mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang muridnya sedikit,” kata Djodi yang mengaku menutup microschool-nya setelah lulus program S-2 karena menggeluti tiga pekerjaan dan tugas yang sangat menyita waktunya.

Djodi sendiri memandang microschool punya prospek untuk berkembang baik dan bisa jadi merupakan masa depan pendidikan. Ada tiga faktor yang mendukung pernyataannya itu.

Pertama, orang-orang semakin individualis, grup-grup kecil semakin menjadi pilihan. Kedua, berdasarkan prediksi ilmuwan dan dunia medis, lanjutnya, masih akan ada gelombang pandemi lainnya yang membatasi pergerakan. Microschool yang ramping strukturnya, tidak membutuhkan banyak sumber daya dan secara fisik mengurangi keterpaparan dari virus. Dan ketiga, ia melihat orang-orang semakin memahami tentang pendidikan, yang pembelajarannya bisa berasal dari berbagai sumber.

‘Microschool’ di Indonesia, Kecil Tapi Tak Kalah Prestasi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:10:10 0:00

Sementara itu, Irwan mengakui tentang pentingnya mengelola dana agar sekolahnya dapat terus beroperasi. Lulusan Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini juga menambahkan bahwa kesulitan mencari murid, yang ia hadapi pada tiga tahun pertama sekolah itu berdiri, tidak lagi dialaminya. Ketika itu, ia berhadapan dengan orang tua yang keberatan anak mereka bersekolah karena bagi mereka, anak-anak adalah andalan penghidupan keluarga.

Ia tidak khawatir akan kesulitan mencari murid, karena, “Bayangkan kota Jakarta metropolitan. Kalau kita coba lihat ke dalam itu masih banyak lho anak-anak yang sangat membutuhkan bantuan dari segi pendidikan. Saya masih optimistis masih banyak anak-anak yang harus dibantu.” [uh/lt]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG