Para pakar PBB mengatakan bahwa ribuan migran berisiko tinggi mengalami penghilangan paksa. Sebuah laporan khusus oleh "Kelompok Kerja tentang Penghilangan secara Paksa" menuduh masyarakat internasional menutup mata terhadap kejahatan tersebut, yang pada umumnya tidak dilaporkan dan tidak dikenai hukum.
Laporan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa itu mendapati hubungan langsung antara penghilangan paksa dan migrasi. Dalam beberapa kasus, dikatakan orang-orang mungkin bermigrasi karena mereka mungkin berisiko mengalami penghilangan paksa oleh pemerintah mereka sendiri atau mereka mungkin diculik ketika melakukan perjalanan karena alasan politik atau lainnya.
Ini menjelaskan bahwa penghilangan paksa dapat terjadi kalau seorang migran berada dalam tahanan atau menjalani proses deportasi. Ini bisa terjadi karena penyelundupan atau pelanggaran lalu lintas.
Meskipun gejala tersebut meluas, wakil ketua Kelompok Kerja Penghilangan Paksa, Bernard Duhaime, mengatakan kepada VOA, tidak mungkin mendokumentasikan skala dan ruang lingkupnya. Itu karena kejadiannya tersembunyi dan berlangsung secara rahasia.
Dia menambahkan hal itu terjadi di hampir seluruh bagian dunia. Misalnya, kasus penghilangan paksa di Libya dan di antara para pengungsi yang melarikan diri dari Suriah.
"Ada contoh serupa di Asia Selatan, khususnya dalam migrasi orang- orang Rohingya. Ada juga contoh yang didokumentasikan ... migran menyeberang melalui Amerika Tengah dan melalui Meksiko, hilang. Laporan tersebut merujuk pada jaringan para pelanggar lalu lintas dan penyelundup di Sudan, dan Eritrea," papar Duhaime.
Para ahli memperingatkan mengenai jalur yang semakin berbahaya yang dilalui para migran dimana mereka menjadi korban pelanggaran hak asasi, termasuk penghilangan paksa.
Laporan tersebut meminta pemerintah negara-negara mengumpulkan semua informasi mengenai orang-orang yang hilang atau ketika melakukan perjalanan di negara mereka dan melakukan apa yang bisa dilakukan untuk menemukan para migran yang hilang itu. [sp/ii]