Bulan suci Ramadan yang dimulai Senin (6/6) biasanya diisi tradisi buka puasa bersama keluarga dan sahabat.
Namun bagi banyak dari ratusan ribu migran yang datang ke Eropa tahun lalu -- sebagian besar adalah Muslim yang melarikan diri dari peperangan, konflik dan kemiskinan di Suriah, Afghanistan, Irak dan lainnya -- Ramadan kali ini terasa jauh dari istimewa.
Di Jerman, sebagian besar dari mereka masih tinggal di tempat-tempat penampungan dengan makanan yang telah lama mereka keluhkan "tidak dapat dimakan." Protes atas makanan yang disediakan perusahaan katering yang dikontrak pemerintah lokal itu meningkat seiring mendekatnya Ramadan.
"Tidak mungkin ada Ramadan tanpa makanan enak," ujar Swaid, 25, yang duduk bersama abangnya Hamza di Sham, bar makanan ringan Suriah yang populer di Neukoelln, daerah kumuh di Berlin dengan populasi migran yang besar.
Swaid, yang tinggal di sebuah tempat penampungan di utara ibukota Jerman itu, membelanjakan sebagian besar dari US$136 yang ia dapat per bulan untuk makanan. Ia dan para pencari suaka lainnya patungan membeli roti, beras dan sayuran, yang mereka masak di dalam wajan.
"Saya rindu istri saya, tapi selama Ramadan, saya akan lebih rindu masakan ibu saya," canda Swaid beberapa hari sebelum Ramadan, sambil makan potongan roti gepeng yang diisi ayam shawarma dan saus bawang putih.
Banyak tempat-tempat penampungan di Berlin untuk pertama kalinya menghadapi Ramadan dan beberapa mencoba memastikan adanya makanan enak.
Di Tempelhof, bekas bandar udara yang dibangun Hitler untuk menunjukkan kekuasaan Nazi dan sekarang menjadi tempat penampungan sekitar 5.000 migran, juru bicara perusahaan yang mengelola tempat itu mengatakan para tamu akan disediakan kurma dan air setelah puasa, sesuai tradisi Muslim.
Roti, Sosis, Yoghurt, Keju, Selai
Waktu berpuasa di Eropa saat ini lebih panjang dibandingkan di Timur Tengah. Dengan matahari Juni yang terbit lebih awal dan terbenam lebih lama, waktu berpuasa bisa dua sampai tiga jam lebih panjang untuk para migran dibandingkan di negara asal.
Di kamp pengungsi Hemmeslovs Herrgard dekat perbatasan Denmark dan Swedia, para migran Muslim tidak sabar mengantre di kafetaria saat matahari terbenam.
Pada pukul 21.30, setengah jam sebelum matahari terbenam, antrean sudah sepanjang 25 meter. Kafetaria dipenuhi suara anak-anak bermain dan orang-orang dewasa berbincang dengan piring dan gelas di tangan mereka, bersiap makan pada tepat pukul 22.00.
Magnus Falk, manajer kamp tersebut, berdiri dengan sekarung roti di tangan, mencoba menenangkan massa.
"Mereka tidak puas dengan makanan ringan pagi tadi," ujarnya.
Sekitar setengah dari 300 penghuni menjalankan puasa. Mereka mendapat kantong berisi sosis, yogurt, keju dan selai untuk dimakan sebelum terbit fajar pada sekitar pukul 3.30.
Mohammed, warga Suriah dari kota dekat Aleppo, menemukan beberapa potong roti di tanah di luar kafetaria, yang ia sobek-sobek dan lempar keluar jendela kamarnya.
"Kami suka melempar roti sisa untuk burung, agar saya dan saudara-saudara saya bisa melihat mereka dari dekat," ujarnya. Dalam islam, Muslim tidak seharusnya membuang makanan sisa, tapi memberikannya kepada yang membutuhkan atau binatang.
Mohammed, yang datang dengan keluarganya yang berjumlah lima orang ke Swedia sembilan tahun lalu dan sekrang menunggu wawancara dengan Badan Migrasi, tidak terkesan dengan makanan di kamp. Ia mengatakan para migran mencoba membuat makanan lebih menggiurkan dengan menambah bumbu-bumbu.
"Biasanya kami memasak makanan Arab yang sangat enak selama Ramadan dan memakannya bersama teman-teman, tapi di sini kami sendirian. Tapi kami masih merayakan Ramadan karena itu tradisi," ujarnya.
Kondisi Kamp Yunani
Di Yunani, para migran Muslim yang terperangkap karena negara-negara di sepanjang jalur Balkan menutup perbatasan mereka, mengatakan panas terik dan kondisi yang buruk di kamp-kamp yang dikelola pemerintah membuat mereka semakin sulit berpuasa.
"Kami tidak dapat tinggal di dalam tenda karena terlalu panas dan anak-anak muntah atau diare karena tempatnya sangat kotor," ujar Mahdieh, 14, yang tinggal di Schisto, kamp tenda yang dikelola pemerintah di bekas markas militer dekat Athena.
Mahdieh, yang keluarganya melarikan diri dari provinsi Logar di Afghanistan karena diancam Taliban, mengenang Ramadan di rumah sebagai waktu berkumpulnya keluarga untuk bercengkerama, tertawa dan gembira.
"Di sini kami depresi, lelah, tidak tahu bagaimana bisa tinggal di sini," ujarnya.
Abdul Baseer Nomand sebelumnya bekerja sebagai konsultan teknis untuk angkatan darat Jerman di Afghanistan dan tiba di Yunani sebelum perbatasan-perbatasan ditutup bulan Februari. Sekarang ia tinggal di tenda bersama istri dan kelima anak mereka dan berpikir bagaimana pengelola kamp bisa mengakomodasi kebutuhan mereka.
"Hari ini hari pertama puasa. Mari kita lihat apa yang mereka sediakan untuk kami," ujarnya. "Jika cuaca panas, sangat sulit bagi semua orang karena mereka akan sangat haus. Masalahnya adalah lingkungan di sini tidak layak dihuni."
Seperti orang-orang lain yang terpaksa melarikan diri, ia menanti saatnya situasi cukup aman untuk kembali.
"Semua orang rindu keluarga, negara, dan situasi ini sangat sulit," ujarnya. "Sangat sulit bagi orang-orang berada jauh dari negara, dari tetangga, dari saudara." [hd]