Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengatakan dalam pertemuan MIKTA Speakers Consultation ke-9, konflik Israel-Hamas dan juga konflik Rusia-Ukraina dibahas.
Terkait konflik Israel-Hamas, MIKTA menyerukan dilakukannya gencatan senjata sesegera mungkin dan mendorong penyelesaian konflik secara damai. Dalam pembahasannya, kata Puan, ada beberapa perbedaan pendapat antar negara-negara anggota MIKTA.
Ia menjelaskan, ada yang mendorong dilakukannya gencatan senjata dengan segera agar perdamaian bisa segera tercipta, sementara, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa perdamaian hanya bisa dilakukan dengan dialog meskipun akan memakan waktu panjang.
“Namun yang penting saat ini, terkait kependudukan Israel ke Palestina harus disetop. Tentu saja itu bukan suatu hal yang mudah, ini sulit di lapangannya. Namun, kita telah sama-sama berkomitmen untuk sama-sama mendorong perdamaian bukan hanya di Palestina, bukan di Gaza, tapi di Ukraina juga dan tentu saja di negara-negara lain sehingga tidak terjadi seperti halnya yang terjadi saat ini maksudnya seperti yang terjadi di Gaza dan Ukraina,” ungkap Puan.
Dalam kesempatan ini negara-negara MIKTA juga sepakat bahwa tata kelola global sistem multilateral yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan realitas abad ke-21. Maka dari itu, kata Puan, sistem tersebut harus segera diganti. MIKTA ke depannya diharapkan bisa memfasilitasi dan menjembatani dialog antara negara dengan kekuatan besar, negara maju dan negara berkembang.
“Apa yang terjadi di Gaza, Palestina kemudian apa yang terjadi di Ukraina, Dewan Keamanan PBB sampai saat ini belum bisa secara konkret melaksanakan atau mempersuasi kondisi yang ada di sana. Karenanya mungkin ini yang perlu kemudian kita tata kembali sistemnya bahwa aturan-aturan yang ada di Dewan Keamanan PBB harus segera diperbaiki sesuai dengan sistem tata kelola abad 21 ini,” jelas Puan.
Pengaruh Negara Kekuatan Menengah
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran (Unpad) Rizky Ramadhan menyebut bahwa negara-negara dengan kekuatan menengah sebenarnya bisa mempunyai peran yang strategis dalam upaya ikut menyelesaikan konflik Israel-Palestina, baik secara multilateral maupun bilateral.
“Kalau saya melihatnya yang bisa dilakukan oleh negara-negara MIKTA itu harus pakai dua arah ada yang dilakukan secara multilateral dan secara bilateral oleh negara-negara itu sendiri. Saya yakin beberapa negara tersebut ada yang mempunyai hubungan bilateral dengan Israel. Jadi dia bisa mem-push bukan hanya dalam forum, tapi juga bertindak dan bergerak dari negara-negara itu sendiri jika memang berkomitmen untuk mencari solusi bagi masalah Israel dan Palestina,” ungkap Rizky.
Menurutnya, selama ini tidak adanya tindakan tegas dari negara-negara MIKTA yang memiliki hubungan bilateral dengan Israel karena masih terbelenggu dengan kepentingan nasional masing-masing.
Rizky yakin bahwa negara-negara anggota MIKTA bisa memiliki dampak yang signifikan dalam upaya menciptakan perdamaian dari berbagai konflik yang ada saat ini.
“Ke depannya saya melihat justru sangat akan ada efeknya. Karena saya yakin mungkin kita banyak belum melihat. Saya yakin bagi Israel sendiri negara-negara middle power ini ada yang menjadi mitra strategis mereka. Di situlah, negara-negara ini harus juga bisa mendorong perdamaian antara Israel dan Palestina,” katanya.
Ia pun sependapat dengan pernyataan MIKTA bahwa tata kelola global sistem multilateral harus segera diubah, khususnya yang menyangkut Dewan Keamanan PBB.
“Saya mengikuti seruan-seruan untuk melakukan reformasi DK PBB dari tahun 2001-an baik secara jumlahnya maupun komposisi keterwakilannya. Lalu hak dan kewajibannya dalam hal ini hak veto, karena memang sudah tidak sesuai," katanya.
"Ketika ada masalah seperti Israel-Palestina, kita punya solusi bagus, sudah mendekati keputusan, diveto terus gagal. Diusulkan lagi, ada alternatif lain, diveto gagal, selalu seperti itu. Dari segi keterwakilannya tidak adil, Asia sangat sedikit di dalam DK PBB. Jadi kalau secara statute itu mungkin. Dan saya yakin itu akan berdarah-darah karena pasti negara-negara besar, negara pendiri dan negara yang punya veto selama ini akan berusaha menggagalkan itu karena mereka sadar itu hak yang sangat spesial,” lanjut dia. [gi/ab]
Forum