Bagi Nafis Yahya Makarim, bahasa Jawa itu mudah sekaligus sulit. Sebagai anak yang lahir dan tumbuh di tengah masyarakat Jawa, berbicara bahasa ibu tentu mudah. Namun, karena bahasa Jawa memiliki tingkat kehalusan, bagi siswa di SMA N 1 Seyegan, DI Yogyakarta ini, faktor tersebut jadi tantangan tersendiri. Apalagi jika harus menulis dengan aksara Jawa, akan terasa lebih sulit lagi. Dia mengaku tak lancar berbahasa halus atau kromo, dan memilih bicara dengan bahasa Indonesia sebagai penggantinya.
“Kalau sama guru, sebagian teman ada yang berbahasa Jawa kromo, tetapi yang lain kebanyakan tetap berbahasa Indonesia. Hanya 20-25 persen saja yang bisa bahasa Jawa kromo. Mungkin mereka ini sudah dari kecil diajari, dan berbicara kepada orang tuanya juga memakai bahasa kromo,” tutur Nafis.
Bukan tidak mungkin, pilihan untuk berbicara dengan bahasa Indonesia ini lambat laun akan mendorong hilangnya bahasa daerah. Meski, karena jumlah penutur yang mencapai lebih dari 100 juta jiwa, bahasa Jawa termasuk salah satu yang mampu bertahan. Pemerintah sendiri telah mencatat, ada 11 bahasa daerah di Indonesia yang telah punah, empat bahasa berada dalam titik kritis dan dua mengalami kemunduran. Bahasa-bahasa itu terutama berasal dari Maluku, Papua dan NTT.
Warjono, orang tua Nafis mengaku bisa memaklumi jika generasi milenial tak paham bahasa Jawa halus. “Memang susah sekali, jadi tidak bisa berharap mereka bisa menguasai seperti orang tua mereka. Dan saya yakin, orang tua zaman sekarang bisa memahami ini,” ujarnya.
Gusti Grehenson memiliki kasus yang berbeda terkait ini. Dia dan istrinya memiliki darah suku Rejang, Bengkulu. Keduanya kini tinggal di Yogyakarta. Kepada orang tua dan mertuanya, Gusti berbicara bahasa Rejang. Namun, kepada dua anaknya, dia memakai bahasa Indonesia dan Jawa. “Anak-anak saya paham beberapa kosakata bahasa Rejang, tetapi tak bisa bicara dalam kalimat panjang,” kata Gusti.
Masalahnya memang lebih kompleks. Anak-anak Gusti belajar di sekolah dengan bahasa Jawa sebagai salah satu muatan lokal. Sehari-hari mereka juga bergaul dengan teman-teman mereka menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa.
“Bahasa Rejang tidak saya ajarkan ke mereka karena memang tidak dipakai,” tambahnya.
Bahasa Rejang Mulai Ditinggalkan
Bahasa Rejang adalah satu dari lima bahasa tertua di Indonesia. Tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Putri Meilinda Sari, Muhammad Dian Saputra Taher dan Akhmad Khanif sempat meneliti penggunaan bahasa ini. Kesimpulan mereka, bahasa Rejang berada dalam kondisi terancam.
Seperti kasus di keluarga Gusti tadi, anak-anak suku Rejang di Bengkulu sendiri mulai berjarak dengan bahasa asli mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka lebih banyak menggunakan bahasa Melayu Bengkulu di samping bahasa Indonesia.
Menurut Putri, salah satu anggota tim peneliti, Bahasa Rejang juga hanya diajarkan di sekolah dasar mulai kelas 3-6. Di tingkat lebih tinggi, pelajaran itu menghilang dari kelas.
“Kita mengukur daya bahasa ini di skala Ethnologue Intergenerational Disruption Scale. Jadi dengan skala itu kita bisa mengukur sejauh mana daya bahasanya. Berdasar skala tersebut, ada 13 skala, bahasa Rejang masuk dalam skala 6B atau terancam. Masalah yang ada di skala 6B adalah, pertama transmisi bahasa. Tidak semua orangtua mentransmisikan bahasa Rejang ke anaknya. Kedua, sikap bahasa atau loyalitas bahasa mulai menurun, kemudian bahasa mulai digunakan hanya pada ranah informal,” tukas Putri.
Melalui penelitian ini juga disusun sebuah kuesioner. Dari responden kalangan anak SMA, 30 persen siswa menolak jika bahasa Rejang diajarkan di sekolah, sementara 36 persen bersikap netral. Putri dan peneliti lain juga menemukan kenyataan bahwa para tetua adat menyadari mulai hilangnya bahasa Rejang. Namun di sisi lain, mereka tidak mampu mencegah kecenderungan itu.
Bahasa Penginyongan Bukan Ngapak
Budayawan sekaligus sastrawan asal Banyumas, Ahmad Tohari merasakan hal yang sama dengan bahasa aslinya. Di televisi, bahasa Jawa dialek Banyumas dan Tegal sering dipakai pelawak untuk mengundang gelak tawa. Bagi Ahmad Tohari, itu adalah kebiasaan yang tidak dapat diterima. Namun, kecenderungan itu punya akar juga di Banyumas dan sekitarnya.
“Dalang wayang di Banyumas hanya menampilkan dialek Banyumasan dalam sesi punakawan yang lucu-lucu itu. Jadi terkesan secara luas, dialek Banyumasan itu bahasa untuk pelawak, untuk pembantu rumah tangga. Pokoknya kelas bawah. Ini bagi saya sangat memilukan,” papar penulis novel terkenal Ronggeng Dukuh Paruk itu.
Dialek Banyumas kini disebut sebagai bahasa Penginyongan. Secara umum, masyarakat luas menyebutnya sebagai bahasa Ngapak. Kata Ahmad Tohari, sebutan bahasa Ngapak ini sebenarnya tidak dapat diterima.
Ahmad Tohari merasakan, masyarakat Banyumas kurang percaya diri terhadap bahasanya. Berbeda dengan orang Tegal yang justru menjadikan logatnya sebagai kebanggaan. Sikap ini menurut Ahmad Tohari, sebagai dampak dari cara Kerajaan Mataram Surakarta memperlakukan mereka di masa lalu. Orang Banyumas dianggap warga kerajaan kelas dua.
Ketika Belanda datang, standardisasi bahasa Jawa diberlakukan. Uniknya, bahasa Penginyongan tersisih karena Belanda memilih Bahasa Jawa Yogya-Solo untuk diajarkan di sekolah, termasuk kepada Ahmad Tohari kecil.
Sebagai upaya mengembalikan kebanggaan berbahasa Penginyongan, Ahmad Tohari dan pegiat bahasa lokal melakukan banyak strategi. Misalnya menerbitkan majalah berbahasa Penginyongan dan mendorong pemerintah daerah memasukkan bahasa ini dalam kurikulum lokal.
“Di Kabupaten Banyumas sudah ada kurikulum untuk mengajarkan bahasa Penginyongan, di tempat lain belum. Kita ada empat kabupaten, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga dan Cilacap yang menggunakan bahasa Penginyongan. Di Banyumas sendiri sudah ada kurikulumnya, tetapi jelas sekali, pengajaran bahasa ini berhadapan dengan kuatnya bahasa nasional ditambah lagi dialek Jakarta yang sangat populer di kalangan anak muda,” demikian pungkas Ahmad Tohari. [ns/uh]