Kaum milenial akan menjadi penyumbang suara kunci bagi kontestan Pemilu 2019 di Indonesia, tetapi menurut survei, sejauh ini belum ada pasangan Capres atau partai politik yang memenuhi keinginan mereka.
Tampaknya, menggaet suara pemilih milenial masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi peserta Pemilu 2019. Tidak hanya bagi pasangan capres-cawapres, tetapi juga partai politik. Sebuah survei di Yogyakarta menunjukkan kecilnya ketertarikan kelompok ini pada proses Pemilu. Survei ini dilakukan sejak November 2018 hingga Februari 2019 di empat kabupaten dan satu kota oleh Komunitas Independen Sadar Pemilu (KISP).
Dalam paparan hasil penelitian di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jumat (08/03), Kordinator KISP Erward Trias Pahlevi juga menyebut, belum ada separuh milenial di provinsi ini yang memastikan diri ikut mencoblos April nanti.
“Ada 48 persen yang mengatakan bahwa mereka akan memilih di Pemilu 2019, namun ada 47 persen generasi milenial di DITY yang belum menentukan pilihannya. Ini yang kita sebut sebagai undecided voters. Alasan mereka cukup masuk akal. Pertama, mereka tidak kenal visi-misi presiden dan wakil presiden. Secara detil tidak mengetahui. Apalagi untuk calon legistaltif di tingkat kabupaten/kota,” kata Erward Trias Pahlevi.
Dalam penelitian ini, kelompok milenial diidentifikasi sebagai mereka yang lahir dalam kurun waktu 1980-2000. Sebagaimana di tingkat nasional, pada tingkat lokal kelompok pemilih dalam rentang usia ini jumlahnya sekitar 40 persen dari potensi suara total. Edward memastikan, milenial memegang kunci karena menentukan perolehan suara Pemilu 2019.
Salah satu faktor yang membuat persentase milenial yang belum memiliki pilihan cukup tinggi adalah karena perbedaan pilihan media. Milenial adalah generasi ketiga dalam komunikasi politik. Generasi pertama dipengaruhi oleh kemampuan orasi politik para tokoh. Generasi kedua diarahkan oleh media-media arus utama. Kini, di generasi ketiga, komunikasi politik digerakkan oleh media sosial.
Tiga besar media sosial yang digunakan respoden di DIY adalah Instagram, Facebook dan WhatsApp. Di sanalah milenial mengaku memperoleh informasi seputar Pemilu. Uniknya, dari sisi peserta Pemilu, memasang baliho di tepi jalan, kata Edward, justru lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan kampanye media sosial.
“Apakah ketika memasang pamflet atau baliho di jalan, generasi milenial memperhatikan? Saya pikir tidak. Menurut mereka ini tidak menarik. Lebih baik isu itu dikemas dalam media sosial dan bisa di update secara langsung. Ada 38,25 persen respoden yang lebih menyukai pemimpin yang aktif di Medsos. Alasannya, mereka bisa berinteraksi dan mengetahui kegiatan yang dilakukan kandidat tersebut,” tambah Edward.
Kecenderungan cara kampanye yang tidak menarik kaum milenial ini diakui oleh komisioner KPU DIY, Wawan Budiyanto. Berbicara dalam kesempatan yang sama, Wawan mengaku prihatin karena pilihan itu bahkan kadang-kadang dilakukan dengan resiko dicopot oleh Bawaslu atau Satpol PP.
“Ini agak unik, ketika bagi kita sudah ada media yang efektif dan cukup masif pengunaannya, dan dari sisi biaya juga murah, namun ternyata para kanddiat kita di level Caleg itu lebih suka melakukan kampanye dengan memasang alat peraga kampanye berupa baliho, spanduk, poster yang kadang melanggar aturan,” jelas Wawan Budiyanto.
Wawan memaparkan, KPU juga sudah membuat aturan terkait kampanye melalui media sosial ini. Peserta Pemilu dapat mendaftarkan hingga 10 akun resmi untuk setiap jenis media sosial. Di sisi yang lain, dia juga mengakui bahwa KPU harus belajar lebih banyak dari hasil survei, sehingga mampu melakukan sosialisasi secara lebih tepat.
“Hasil temuan ini perlu diseminasi ke depan, agar menjadi salah satu metode kampanye yang harus diberi perhatian lebih dari sekarang. Menurut peraturan, sudah dibuka ruang bagi kandidat peserta Pemilu untuk menggunakan media sosial,” kata Wawan.
Tunjung Sulaksono, pengajar Program Magister Ilmu Pemerintahan UMY juga meyakini, mendekati milenial adalah kewajiban setiap peserta Pemilu. Suara kelompok usia ini bisa menjadi penentu kemenangan, meskipun nantinya akan terdistribusi ke partai-partai yang ada. Tidak mengherankan, kata Tunjung, ada banyak peserta Pemilu yang tiba-tiba berusaha menjadi bagian dari milenial.
“Karena milenial menjadi keharusan, akhir-akhir ini terutama ketika orang mulai menyadari pentingnya generasi milenial dalam mendulang suara, maka banyak orang mendadak milenial. Cara berpakaiannya mengikuti anak muda, tutur bahasanya mendekati anak muda dan juga bagaimana mereka masuk ke dunia anak muda dalam kampanye politik mereka,” jelas Tunjung Sulaksono.
Apa yang terjadi dalam kelompok pemilih ini, kata Tunjung, cukup menarik. Penelitian menunjukkan, mereka adalah generasi yang individualistik dan sangat tergantung pada teknologi. Dalam sektor politik, milenial juga dianggap apatis. Namun, ada juga pakar yang mengatakan bahwa yang terjadi bukan apatisme, tetapi pendekatan politik yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Tunjung memberikan contoh bagaimana milenial di luar negeri aktif berpolitik. Kanselir Austria Sebastian Kurz terpilih pada usia 30-an tahun. Alexandria Ocasio-Cortez, dari Partai Demokrat terpilih sebagai Anggota DPR Amerika Serikat pada umur 29 tahun. Di Uni Emirat Arab, Shamma Al Mazrui diangkat sebagai Menteri Urusan Kepemudaan pada usia 22 tahun. Di Hongkong, Nathan Law duduk di parlemen meski baru berusia 23 tahun pada 2016.
“Kita ini generasi tua yang gagal memahami, bagaimana mereka memaknai politik. Mereka ini tidak apatis, tetapi punya cara yang berbeda dalam terlibat politik. Tidak seperti generasi sebelumnya,” tambah Tunjung.
Survei di Yogyakarta ini juga menemukan fakta bahwa hoax dan ujaran kebencian di media sosial ternyata menjadi salah satu faktor kurangnya ketertarikan milenial pada proses Pemilu 2019 ini. [ns/lt]