Militer Thailand telah memberlakukan keadaan darurat dengan mengatakan mereka melakukannya untuk menjaga “perdamaian dan ketertiban” setelah berbulan-bulan protes anti-pemerintah yang kadang-kadang dengan kekerasan.
Dalam pengumuman yang mendadak Selasa pagi (20/5), Jenderal Prayuth Chan-Ocha, mengatakan tindakan itu perlu untuk mencari jalan keluar dari krisis politik.
Dalam pengumuman yang ditayangkan televisi, Selasa pagi, Jenderal Prayuth Chan-Ocha membela langkah tersebut yang katanya diperlukan untuk menyelesaikan krisis politik negara itu.
Jenderal Prayuth kemudian bertemu para pejabat senior dari beberapa badan pemerintah. Ia meminta diadakan pembicaraan antara pihak-pihak yang bertentangan, tetapi bertekad akan mempertahankan keadaan darurat itu hingga hukum dan ketertiban pulih.
Tentara Thailand, yang sudah pernah melancarkan 11 kali kudeta dalam 80 tahun terakhir, membantah pihaknya mengambil alih kekuasaan. Beberapa pejabat dengan kuat membantah kudeta telah terjadi.
Menteri Kehakiman Chaikasem Nitisiri mengatakan kepada wartawan bahwa pemerintah interim masih berkuasa dan menegaskan langkah militer itu hanya terkait dengan keamanan. Namun, para anggota pemerintah interim menyatakan mereka tidak diajak berkonsultasi sebelum diambil keputusan untuk menerapkan keadaan darurat.
Dalam suatu pernyataan, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Jen Psaki mengatakan Amerika “sangat prihatin” dan memantau situasi. Ia mengatakan Amerika berharap militer Thailand akan memenuhi komitmen-komitmennya untuk menetapkan keadaan darurat militer itu sebagai “tindakan sementara untuk mencegah kekerasan, dan bukannya untuk merongrong lembaga-lembaga demokratis.”
Hampir 30 orang telah tewas sejak November, ketika protes pecah dalam usaha memaksa Perdana Menteri Yingluck Shinawatra turun dari kekuasaan. Protes itu tidak berhasil, tetapi Yingluck dan beberapa dari Kabinetnya diberhentikan bulan ini oleh Mahkamah Konstitusi atas tuduhan penyalah-gunaan kekuasaan.
Dalam pengumuman yang mendadak Selasa pagi (20/5), Jenderal Prayuth Chan-Ocha, mengatakan tindakan itu perlu untuk mencari jalan keluar dari krisis politik.
Dalam pengumuman yang ditayangkan televisi, Selasa pagi, Jenderal Prayuth Chan-Ocha membela langkah tersebut yang katanya diperlukan untuk menyelesaikan krisis politik negara itu.
Jenderal Prayuth kemudian bertemu para pejabat senior dari beberapa badan pemerintah. Ia meminta diadakan pembicaraan antara pihak-pihak yang bertentangan, tetapi bertekad akan mempertahankan keadaan darurat itu hingga hukum dan ketertiban pulih.
Tentara Thailand, yang sudah pernah melancarkan 11 kali kudeta dalam 80 tahun terakhir, membantah pihaknya mengambil alih kekuasaan. Beberapa pejabat dengan kuat membantah kudeta telah terjadi.
Menteri Kehakiman Chaikasem Nitisiri mengatakan kepada wartawan bahwa pemerintah interim masih berkuasa dan menegaskan langkah militer itu hanya terkait dengan keamanan. Namun, para anggota pemerintah interim menyatakan mereka tidak diajak berkonsultasi sebelum diambil keputusan untuk menerapkan keadaan darurat.
Dalam suatu pernyataan, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Jen Psaki mengatakan Amerika “sangat prihatin” dan memantau situasi. Ia mengatakan Amerika berharap militer Thailand akan memenuhi komitmen-komitmennya untuk menetapkan keadaan darurat militer itu sebagai “tindakan sementara untuk mencegah kekerasan, dan bukannya untuk merongrong lembaga-lembaga demokratis.”
Hampir 30 orang telah tewas sejak November, ketika protes pecah dalam usaha memaksa Perdana Menteri Yingluck Shinawatra turun dari kekuasaan. Protes itu tidak berhasil, tetapi Yingluck dan beberapa dari Kabinetnya diberhentikan bulan ini oleh Mahkamah Konstitusi atas tuduhan penyalah-gunaan kekuasaan.