NEW YORK —
Meningkatnya jumlah perempuan di negara-negara Muslim telah memicu studi tentang Islam dalam beberapa tahun ini, termasuk bagaimana menghafal Al Quran, belajar mengaji secara benar dan mempelajari aspek-aspek lain dalam Islam.
Sebuah film dokumenter tentang kegiatan ekstra-kurikuler pada libur musim panas, khusus bagi perempuan di Suriah yang dijalankan oleh seorang ustadzah, menunjukkan bagaimana hal ini bisa menjadi sarana kebebasan yang lebih besar bagi perempuan.
Houda Al Habash – seorang ustadzah Suriah – mendirikan sekolah membaca Al Qur'an khusus bagi anak perempuan hanya pada musim panas ini, tahun 1982. Sekolah ini telah membuka kelas-kelas selama lebih dari 30 tahun di sebuah masjid di Damaskus, sebagaimana ditunjukkan dalam film dokumenter “The Light in Her Eyes”.
Di sekolah ini anak-anak perempuan belajar menghafal Al Qur’an, ayat demi ayat, mempraktekkan bagaimana membacanya dan mempelajari ajaran Islam lainnya.
Sutradara film Julia Merltzer dan Laura Nix mengatakan mereka ingin menunjukkan bagaimana kehidupan seorang perempuan Muslim seperti Houda Al Habash dan apa yang diajarkannya.
“Ia sangat yakin bahwa perempuan seharusnya berkumpul di masjid. Mereka seharusnya belajar dengan sangat serius. Ia ingin perempuan jadi berpendidikan dan bisa bekerja – jika memang mereka menginginkannya. Tentu saja ada elemen-elemen budaya yang tidak mendukung perempuan melakukan hal itu. Tetapi ia yakin bahwa cara untuk mengubah hal itu adalah lewat Islam,” ujar Laura.
Al Habash mengatakan dalam Islam, pendidikan merupakan bagian dari ibadah, dan ia menyangkal ustad-ustad konservatif yang mengatakan perempuan tempatnya di rumah.
Al Habash memiliki keyakinan konservatif bahwa Islam mengharuskan perempuan mengenakan hijab atau penutup kepala, dan bahwa istri seharusnya melakukan pekerjaan rumah tangga. Meskipun demikian, Al Habash ingin anak-anak perempuan tahu bahwa mereka bisa punya kehidupan yang lebih baik, sebagaimana yang disampaikannya di kelas.
Meltzer dan Nix yang membuat film “The Light in Her Eyers” di Damaskus, menyelesaikan film ini beberapa saat sebelum dimulainya pergolakan tahun 2011. Mereka tidak memiliki ijin dari pemerintah sehingga harus memfilmkan secara diam-diam.
“Kami tidak pernah merasa berada dalam bahaya, tetapi kami menyadari bahwa sewaktu-waktu kami bisa diminta untuk menghentikan pengambilan gambar. Tantangan besar yang kami hadapi adalah membuat Houda mengijinkan kami memasuki kehidupannya dan membiarkan kami menggunakan masjid, karena resikonya sangat besar – terutama bagi Houda,” kata Meltzer.
Film itu dipertunjukkan di Amerika sebagai serial film di televisi. Al Habash dan keluarganya mengungsi dari Suriah pada pertengahan tahun 2012 ketika aksi kekerasan meluas. Ia berharap bisa membangun kembali sekolahnya ketika kondisi sudah damai.
Sebuah film dokumenter tentang kegiatan ekstra-kurikuler pada libur musim panas, khusus bagi perempuan di Suriah yang dijalankan oleh seorang ustadzah, menunjukkan bagaimana hal ini bisa menjadi sarana kebebasan yang lebih besar bagi perempuan.
Houda Al Habash – seorang ustadzah Suriah – mendirikan sekolah membaca Al Qur'an khusus bagi anak perempuan hanya pada musim panas ini, tahun 1982. Sekolah ini telah membuka kelas-kelas selama lebih dari 30 tahun di sebuah masjid di Damaskus, sebagaimana ditunjukkan dalam film dokumenter “The Light in Her Eyes”.
Di sekolah ini anak-anak perempuan belajar menghafal Al Qur’an, ayat demi ayat, mempraktekkan bagaimana membacanya dan mempelajari ajaran Islam lainnya.
Sutradara film Julia Merltzer dan Laura Nix mengatakan mereka ingin menunjukkan bagaimana kehidupan seorang perempuan Muslim seperti Houda Al Habash dan apa yang diajarkannya.
“Ia sangat yakin bahwa perempuan seharusnya berkumpul di masjid. Mereka seharusnya belajar dengan sangat serius. Ia ingin perempuan jadi berpendidikan dan bisa bekerja – jika memang mereka menginginkannya. Tentu saja ada elemen-elemen budaya yang tidak mendukung perempuan melakukan hal itu. Tetapi ia yakin bahwa cara untuk mengubah hal itu adalah lewat Islam,” ujar Laura.
Al Habash mengatakan dalam Islam, pendidikan merupakan bagian dari ibadah, dan ia menyangkal ustad-ustad konservatif yang mengatakan perempuan tempatnya di rumah.
Al Habash memiliki keyakinan konservatif bahwa Islam mengharuskan perempuan mengenakan hijab atau penutup kepala, dan bahwa istri seharusnya melakukan pekerjaan rumah tangga. Meskipun demikian, Al Habash ingin anak-anak perempuan tahu bahwa mereka bisa punya kehidupan yang lebih baik, sebagaimana yang disampaikannya di kelas.
Meltzer dan Nix yang membuat film “The Light in Her Eyers” di Damaskus, menyelesaikan film ini beberapa saat sebelum dimulainya pergolakan tahun 2011. Mereka tidak memiliki ijin dari pemerintah sehingga harus memfilmkan secara diam-diam.
“Kami tidak pernah merasa berada dalam bahaya, tetapi kami menyadari bahwa sewaktu-waktu kami bisa diminta untuk menghentikan pengambilan gambar. Tantangan besar yang kami hadapi adalah membuat Houda mengijinkan kami memasuki kehidupannya dan membiarkan kami menggunakan masjid, karena resikonya sangat besar – terutama bagi Houda,” kata Meltzer.
Film itu dipertunjukkan di Amerika sebagai serial film di televisi. Al Habash dan keluarganya mengungsi dari Suriah pada pertengahan tahun 2012 ketika aksi kekerasan meluas. Ia berharap bisa membangun kembali sekolahnya ketika kondisi sudah damai.