Fuad Muhammad Syafruddin, atau yang akrab dipanggil Udin, meninggal tiga hari setelah seorang pria memukul kepalanya. Tanggal 16 Agustus sore, atau hari ini 22 tahun yang lalu, Udin menghembuskan nafas terakhir dan menghadirkan tabir gelap upaya pengungkapan kasus itu. Udin diketahui dibunuh karena tulisan-tulisannya, yang mengkritik keras adanya dugaan transaksi jabatan, seorang petinggi militer dengan seorang anggota keluarga penguasa Orde Baru.
Polisi pernah menangkap seorang pria, bernama Iwik dan menyeretnya ke pengadilan. Namun, upaya itu ternyata sebuah rekayasa untuk menutup nama pelaku sebenarnya. Perwira polisi yang menangani kasus ini, juga pernah dilaporkan karena menghilangkan barang bukti kasus Udin. Meski disidangkan, belum pernah terdengar ada upaya eksekusi atas hukuman yang dijatuhkan Peradilan Militer.
Philipus Jehamun, rekan kerja Udin yang kini menjadi Pemimpin Redaksi Bernas.id, mengaku pesimis bahwa setelah 22 tahun kasus ini akan menemukan titik terang.
“Pengalaman selama ini, setiap kasus yang diduga kuat melibatkan aparat negara, termasuk kasus Udin yang diduga kuat melibatkan aparat negara, tidak akan tuntas. Banyak contoh yang bisa kita sebutkan, misalnya jaman Orde Baru, di saat-saat terakhir Pak Harto, ada kasus Marsinah, kasus Wiji Tukul, itu tidak akan tuntas. Bahkan di era sekarang, ada kasus Novel Baswedan, saya yakin itu tidak akan tuntas, apalagi kasus Udin,” jelasnya.
Nama Udin, termasuk dari 1.800 nama jurnalis yang dicatat oleh Newseum, sebuah museum mengenai surat kabar di Washington DC, Amerika Serikat. Penulisan itu tentu saja untuk menghargai peran besar dan pengorbanan Udin, dalam perjuangan kebebasan pers di Indonesia.
Bambang Muryanto dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogya menceritakan banyak upaya sudah ditempuh selama ini. "Hampir semua lembaga negara sudah kami ketuk pintunya, agar kasus ini lebih diperhatikan. Namun kasusnya tetap berhenti. Polisi selalu meminta bukti baru, padahal bukti yang sudah diberikan belum ditindaklanjuti," kata Bambang dalam diskusi 22 tahun kasus Udin di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Kamis siang.
Budhi Masturi, Kepala Kantor Ombudsman DIY-Jawa Tengah dalam diskusi menyatakan, tidak tuntasnya pengusutan kasus Udin adalah gambaran tidak adanya komitmen negara. Komitmen itu terutama dalam memberi perlindungan serta jaminan keselamatan dan keamanan.
Padahal tindakan itu mutlak diberikan, tidak hanya kepada jurnalis, tetapi juga kepada mereka yang melakukan pengawasan demi kepentingan publik. Budhi Masturi memberi contoh, anggota keluarga Ombudman di Nias, ada yang dibunuh terkait kinerja lembaga itu, dan kasusnya masih tidak jelas sampai saat ini.
Hingga saat ini, kasus Udin masih diprosesKantor Ombudsman Pusat. Karena belum pernah ada hasil akhir, menurut undang-undang masih ada kewajiban negara untuk mengusutnya. Namun, Budhi mengingatkan bahwa persoalan waktu bisa menjadi kendala tersendiri. Karena itu, ada baiknya dipikirkan jalan keluar di luar hukum, demi kepentingan keluarga korban.
“Pendekatan lain dalam upaya advokasi ini menjadi penting untuk dipikirkan juga, sehingga ada aspek keadilan. Keadilan itu tidak hanya di ruang sidang. Kalau memang kepolisian sudah tidak mampu, mungkin bisa didorong pengakuan itu, bahwa negara melalui aparat kepolisian tidak mampu menyelesaikan dan meminta maaf kepada keluarga, kepada rakyat Indonesia,” kata Budhi Masturi.
Namun, tentu saja penyelesaian itu harus diikuti upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi. Tri Guntur Narwaya, peneliti dari Pusat Studi HAM, UII Yogyakarta menekankan perlunya upaya lanjutan itu untuk menghormati dan memenuhi hak keluarga korban. “Ini penting, tetapi dalam banyak peristiwa yang sudah ada, upaya itu bisa dikatakan tidak ada upaya rekonsiliasi dan rehabilitas. Bagaimana misalnya hak ekonomi dan hak-hak sipil korban serta keluarga korban?”
Guntur juga berpesan agar refleksi atas kasus Udin tidak menghadirkan ketakutan jurnalis untuk bersikap kritis. Sebaliknya, upaya mengenang Udin harus dilakukan dengan semangat edukasi agar idealismenya sebagai jurnalis diwarisi generasi penerusnya.
Selain diskusi tahunan yang digelar setiap 16 Agustus, komunitas jurnalis dan aktivis masyarakat sipil di Yogyakarta rutin menggelar aksi diam sebulan sekali sejak 2014. Mereka bersatu dalam Koalisi Masyarakat untuk Udin (KAMU). Koalisi ini tanpa lelah mendorong pemerintah menuntaskan kasus tersebut, dan tidak menjadikannya kadaluwarsa sebelum pelaku terungkap. “Dalam program Nawacita Presiden Jokowi juga menyinggung soal semangat penegakan hukum dan HAM,” kata Tri Wahyu KH dari KAMU dalam diskusi tersebut.
Anggota KAMU, Valentina Widji mengaku secara realistis, baginya kemungkinan kasus ini terungkap sangat kecil. Apalagi selama ini belum ada komitmen yang jelas dari Mabes Polri, Komnas HAM dan Dewan Pers.
Namun, dia mengingatkan, kasus Udin akan menjadi ujian sejarah bagi Indonesia. Jika ini menjadi satu dari sejumlah kasus yang di-"peti es"-kan oleh negara, maka akan menjadi catatan buruk penegakan HAM di Indonesia.
“Akhirnya saya sampai pada refleksi bahwa, mungkin yang bisa kita lakukan sebagai bagian masyarakat sipil, adalah melawan lupa. Menjaga ingatan bangsa Indonesia bahwa kita punya pengalaman buruk, kita punya catatan buruk terkait hak berekspresi, terkait kebebasan pers, terkait hak memperoleh informasi, dan terkait penegakan HAM, karena kasus Udin ini,” kata Valentina Widji.
Namun, seperti kata rekan Udin, Philipus Jehamun, mengingat Udin adalah mengingat idealismenya sebagai jurnalis yang berani menulis kebenaran. Jadi, meskipun pesimis tentang akhir kasus ini, bagaimanapun jurnalis di Indonesia tetap harus mengenangnya. [ns/ab]