Tautan-tautan Akses

MK Putuskan Partai Tanpa Kursi di DPRD Bisa Ajukan Calon Kepala Daerah


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI), Jakarta. (Indra Yoga/VOA)
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI), Jakarta. (Indra Yoga/VOA)

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dan calonnya. Kini, partai atau koalisi partai yang tidak memiliki kursi di DPRD berpeluang mengajukan calon mereka sendiri. 

Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/8) mengabulkan permohonan Partai Gelora dan Partai Buruh soal Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam putusannya, MK menyebut partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan oleh ketuanya, Suhartoyo, itu membatalkan syarat bagi partai politik atau gabungan partai, untuk mengusung pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah bila memiliki minimum 20 persen kursi di DPRD atau paling sedikit 25 persen perolehan suara.

"Untuk mengusulkan calon gubernur dan wakil gubernur, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap (DPT) sampai dengan dua juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit sepuluh persen di provinsi tersebut," katanya.

Suhartoyo menambahkan untuk provinsi dengan jumlah pemilih tetap 2-6 juta, persyaratan perolehan suara minimumnya adalah 8,5 persen. Sementara itu, bila jumlahnya 6-12 juta, maka syaratnya adalah 7,5 persen, dan bila jumlahnya 12 juta jiwa atau lebih, syaratnya adalah 6,5 persen.

Untuk mengusulkan calon bupati dan wakil bupati, atau calon wali kota dan calon wakil wali kota, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap (DPT) sampai dengan 250 ribu jiwa, partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di kabupaten/kota tersebut.

Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 250 ribu hingga 500 ribu jiwa, maka parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen. Jika kabupaten/kota dengan jumlah penduduk termuat pada DPT lebih dari 500 ribu hingga 1 juta jiwa, parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen, dan apabila lebih dari 1 juta jiwa, perolehan suaranya paling sedikit harus 6,5 persen.

Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ketua tim kuasa hukum Partai Buruh sebagai pemohon, Sauid Salahuddin, menjelaskan bahwa alasan partai itu menggugat Pasal 40 UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016 tentang ambang batas pengajuan calon adalah karema merasa risih dengan konstelasi politik di tingkat bawah.

Dia menambahkan yang terjadi saat ini adalah upaya pemborongan partai politik oleh pasangan calon tertentu. Ini, katanya, bertentangan dengan prinsip-prinsip Partai Buruh yang mengedepankan prinsip demokrasi.

"Kami nggak ingin pilkada itu justru menjauhkan kita dari tujuan besar untuk membangun demokrasi yang sehat. Kami melihat ada kerugian konstitusional yang kami alami ketika kebetulan kami tidak punya kursi (di DPRD) di sejumlah daerah. Itu menjadi tidak adil jika dibandingkan parpol yang punya kursi," tuturnya.

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi, lanjut Said, partai-partai politik akan melakukan strategi baru. Putusan ini juga menyebabkan jumlah kandidat yang bertarung lebih banyak sehingga masyarakat diberi lebih banyak pilihan.

Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia Titi Anggraini menyambut putusan Mahkamah Konstitus. Ia menilainya sebagai keputusan yang progresif, karena akan menghadirkan kontestasi pemilihan kepala daerah yang lebih adil.

"Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 60 Tahun 2024 ini merekonstruksi syarat pencalonan, sehingga lebih memudahkan partai politik untuk mengusung pasangan calon di pilkada serentak 2024," katanya kepada VOA.

Menurut Titi, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bisa mencegah fenomena calon tunggal atau kandidat yang diusung oleh koalisi gemuk, yang berpotensi melemahkan peran dan fungsi kontrol partai politik di parlemen.

Hal yang sama juga diungkapkan pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari. Menurutnya putusan MK itu merupakan kabar yang luar mengingat belakangan ini kerap terjadi pembajakan partai politik. Padahal, katanya, ada calon yang preferensi politiknya cukup tinggi tapi tidak bisa mendapatkan perahu untuk bisa melaju dalam persaingan.

"Bagi saya ini tidak sehat karena membuat berbagai kesempatan pubik terhambat. Kita sebagai pemilih saja akan kesulitan membangun alternatif pilihan. Karena tidak ada, semua dipaksa. Apalagi kalau calon tunggal melawan kotak kosong. Bagaimana mungkin kita dipaksa memilih sesuatu yang bukan menjadi alternatif pilihan kita," katanya.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut keluar saat 12 partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) sepakat mendukung pasangan calon Ridwan Kamil-Suswono untuk pilkada Jakarta.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan KIM akan segera menggelar rapat untuk membahas putusan MK itu. Dia tidak menampik bahwa putusan MK tersebut bisa mengubah konstetasi pilkada di sejumlah wilayah. KIM, katanya, akan duduk bersama untuk memetakan ulang strategi pemenangan mereka. [fw/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG