Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh tiga warga negara Indonesia (WNI) bernama Wiwit Ariyanto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro, yang diwakili oleh 98 orang advokat tergabung dalam Forum Aliansi '98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
"'Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.
Para pemohon pada perkara itu mengajukan dua pokok permohonan. Pertama, memohon MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 70 tahun pada proses pemilihan."
Kedua, memohon Pasal 169 huruf d UU Pemilu mengatur norma tambahan menjadi "tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM yang berat masa lalu, bukan orang yang terlibat dan/ atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang antidemokrasi, serta tindak pidana berat lainnya."
Terkait batas usia maksimal capres-cawapres menjadi 70 tahun, MK berkesimpulan bahwa permohonan tersebut telah kehilangan objek, karena Pasal 169 huruf q UU Pemilu telah memiliki pemaknaan baru sebagaimana putusan MK terbaru pada tanggal 16 Oktober 2023.
Dalam putusan sebelumnya, MK telah memutus bahwa pasal 169 huruf q tidak melanggar kosntitusi selama dimaknai “siapapun yang berusia di bawah 40 tahun tapi pernah atau sedang menduduki jabatan publik yang dipilih melalui pemilu.” Artinya, MK mempertahankan pasal 169 huruf q tersebut tanpa mengatur syarat usia maksimal capres dan cawapres
Terkait tindak pidana, MK menilai jenis tindak pidana yang diatur dalam pasal 169 huruf d tidak bisa dibuktikan hanya dengan dugaan atau asumsi. Menurut MK, jenis tindak pidana berat lainnya yang diatur di UU Pemilu seyogyanya dibuktikan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kuasa Hukum penggugat perkara tersebut, Anang Suindro, mengaku kecewa karena interupsi yang dilakukannya saat pembacaan putusan tak ditanggapi oleh Hakim MK.
Dia menjelaskan bahwa interupsinya dilakukan untuk meminta Ketua MK Anwar Usman tidak terlibat dalam pengambilan keputusan perkara tersebut karena terkait dengan syarat capres dan cawapres.
“Kami ingin meminta Ketua MK, Pak Anwar Usman tidak terlibat dalam pengambilan keputusan perkara nomor 102 yang kami ajukan tapi tidak ditanggapi dengan baik. Itu salah satu bentuk kekecewaan kami,” ungkap Anang.
Pengamat Politik dari Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan keputusan MK terkait batas syarat usia maksimal capres dan cawapres serta syarat tidak pernah melanggar HAM sudah tepat karena persoalan itu merupakan ranah pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang.
“Maka penolakan MK ini menunjukkan kepada kita keganjilan putusan (perkara nomor) 90 terkait pernah menjabat kepala daerah itu. Kenapa sulit diterima? Karena itu positif legislasi yang tidak boleh ada di dalam MK,” kata Ray. [fw/ab]
Forum