Pejabat-pejabat intelijen Amerika berpendapat, keputusan Rusia mulai menarik sebagian pasukannya dari Suriah diniatkan sebagai teguran tajam kepada Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang semakin ragu atas "konsep" Rusia atas konflik itu.
Pejabat-pejabat intelijen selama berbulan-bulan telah menyatakan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak pernah menyetujui usul Assad sebagai solusi jangka panjang di Suriah, kalau pengganti Assad yang pas bisa didapat.
Tetapi komentar terbaru Assad, termasuk sebagian tentang keinginan merebut kembali semua wilayah Suriah dengan bantuan Rusia sebelum merundingkan penyelesaian perdamaian, tampaknya telah mendesak Rusia terlalu jauh.
"Jelas bahwa Rusia semakin frustrasi atas keras dan tidak mampunya rezim Suriah," ujar seorang pejabat intelijen Amerika, yang tidak mau disebut namanya, kepada VOA.
Sejauh ini, langkah itu tampaknya berdampak di Damaskus. Penasehat senior Assad memberitahu kantor berita Rusia, RIA, bahwa penarikan militer Rusia adalah langkah alami, sambil menyambut kerjasama yang lebih besar antara Amerika dan Rusia mengenai pembicaraan perdamaian. Tetapi juga tampak bahwa Rusia belum siap menyisihkan Assad sepenuhnya.
Pemantau independen dan pejabat Amerika mengatakan Rusia melakukan serangan udara terhadap kelompok teroris Negara Islam (ISIS) hari Selasa (15/3) untuk mendukung pasukan yang pro-rezim di Palmyra. Dan pejabat-pejabat pertahanan Amerika mengatakan, meskipun banyak digembar-gemborkan, penarikan sebagian pasukan Rusia dilaksanakan dengan awal yang lambat.
Bahkan jika Rusia mempercepat laju penarikan militernya dari Suriah, negara itu masih akan mempertahankan pangkalan udara di provinsi Latakia serta kehadiran di pelabuhan utama Tartous, memungkinkan Putin segera meningkatkan kehadiran militer Rusia. [ka/al]