Calon presiden Partai Republik dan Partai Demokrat mungkin mendominasi berita utama di media, tetapi mereka bukan hanya calon yang bertarung untuk menjadi orang nomor satu di Amerika. Kandidat-kandidat alternatif juga ikut memainkan peran signifikan dalam pemilu presiden. Elizabeth Lee melaporkan tentang dampak kehadiran kandidat-kandidat ini dalam pemilu 3 November.
Dalam pertarungan menuju ke Gedung Putih, sudah diketahui luas bahwa petahana Presiden Donald Trump dari Partai Republik sedang bertarung agar terpilih kembali, melawan mantan wakil presiden Joe Biden dari Partai Demokrat. Apa yang kurang muncul di publik adalah adanya beberapa orang lain yang juga bertarung untuk jabatan orang nomor satu di Amerika itu dari partai-partai kecil.
Pakar politik di Universitas California di San Diego, Thad Kousser, mengatakan sebenarnya calonnya cukup banyak. “Peace and Freedom Party, The American Independent Party adalah sebagian di antaranya, dan orang seringkali tidak mengetahui keberadaannya,” jelasnya.
Mereka yang mencalonkan diri dari partai-partai yang lebih kecil dikenal sebagai kandidat alternatif dari partai kecil lainnya. Dalam pilpres 2020, dua kandidat yang cukup dikenal dari partai lain ini antara lain Jo Jorgensen dari Libertarian Party dan Howie Hawkins dari Green Party. Sosok lain yang juga menarik perhatian dan sempat menjadi berita utama adalah penyanyi rap Kanye West.
“Kampanye yang paling membingungkan, tetapi Kanye West yang mendapat perhatian paling banyak, lewat partainya yaitu Birthday Party. Ia kerap bicara secara terbuka lewat nyanyian rap-nya tentang agama, jadi mungkin ia menarik bagi pemilih yang secara agama jauh lebih konservatif,” kata Ted.
Meskipun kandidat alternatif dari partai di luar partai utama umumnya tidak dinilai sebagai pesaing serius untuk kursi presiden, mereka dapat memainkan peran dalam mengubah dinamika pilpres. Salah satu contohnya adalah pilpres antara Trump dan Hillary Clinton pada tahun 2016 lalu.
Direktur Eagleton Institute of Politics di Universitas Rutgers, John Farmer mengatakan, “Tidak ada keraguan lagi bahwa pada tahun 2016, kehadiran kandidat-kandidat dari partai lain telah merugikan Hillary Clinton. Semua jajak pendapat menunjukkan bahwa suara yang diberikan kepada calon-calon dari partai gurem itu mestinya ditujukan bagi Partai Demokrat.”
Thad Kousser menambahkan, “Tahun 2016 lalu adalah tahun di mana begitu banyak warga Amerika yang ketika melihat Trump dan Clinton, tidak terlalu gembira dengan pilihan itu, dan mereka memilih kandidat lain sebagai protes.”
Tetapi para pakar setuju bahwa pilpres 2020 berbeda. “Sangat jelas bahwa kini hal yang dipertaruhkan sangat besar sehingga pilihannya adalah Biden atau Trump, dan tidak seorang pun ingin menyia-nyiakan suara mereka. Jadi kita lihat betapa kandidat alternatif dari partai lain kini tidak mendapat banyak suara,” imbuhnya.
Pemilih lebih memilih kandidat alternatif dari partai lain dibanding Clinton pada tahun 2016 karena persepsi pemilih terhadap dirinya, tetapi Biden tidak dipersepsikan dengan cara yang sama.
Menurut John Farmer, “Hillary Clinton dipandang sebagai tokoh yang paling disukai Wall Street dan keuangan kelas atas, dan perjanjian-perjanjian perdagangan global tidak memberi cukup perhatian pada kehidupan warga kelas pekerja dan lapangan pekerjaan di seluruh Amerika. Saya kira Biden berasal dari lingkungan berlatar belakang kelas pekerja di Scranton, Pennsylvania. Dan saya kira ia dapat terkoneksi dengan demografi itu, meskipun ia juga diasosiasikan dengan berbagai perjanjian perdagangan ini.”
Perebakan luas pandemi virus corona juga membuat kandidat alternatif dari partai lain tidak meraih suara cukup banyak karena cukup sulit bagi mereka untuk berkampanye secara langsung. Mereka juga tidak memiliki anggaran yang cukup untuk membayar iklan kampanye di televisi.
“Ketidakhadiran kandidat alternatif dari partai lain yang kuat tahun ini sedianya akan menguntungkan Partai Demokrat,” imbuhnya. Tetapi sebagaimana hasil pilpres 2016, pilpres seringkali tidak dapat diprediksi. [em/lt]