Dewasa ini, memang ada sejumlah aplikasi ponsel yang ditujukan khusus untuk membantu para penyandang gangguan pendengaran atau tuna rungu menjalani kehidupan sehari-hari mereka. Namun, sejauh ini, belum ada aplikasi yang memudahkan komunitas disabilitas ini menikmati fasilitas transportasi umum, seperti kereta komuter. Tiga mahasiswa Universitas Indonesia berusaha menawarkan solusinya.
Ajeng Riski Anugrah sulit melupakan pertemuannya dengan komunitas tuna rungu lewat sebuah acara di kafe Kopi Tuli di Depok, Jawa Barat, lebih dari setahun yang lalu. Acara itu benar-benar membuka matanya mengenai kesulitan yang dihadapi komunitas itu dalam kehidupan sehari-hari.
Mahasiswi jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia (FIA-UI), ini bercerita, “Setelah mengikuti acara itu, dalam perjalanan pulang, saya berpikir ‘wah kalau di dalam KRL, bagaimana mereka mengatasi keterbatasan mereka?’ Seperti kita tahu, kereta KRL komuter memberikan informasi dengan mengandalkan suara, seperti perubahan jalur di stasiun-stasiun besar, sementara kita tahu teman-teman tuli memiliki keterbasan dalam mendengar."
Ajeng tahu pasti bahwa dewasa ini memang ada sejumlah aplikasi ponsel yang ditujukan khusus untuk membantu para teman tuli menjalani kehidupan sehari-hari mereka.
Google, contohnya, menawarkan "Live Transcribed" untuk para pengguna Android. Aplikasi yang memanfaatkan teknologi pengenalan suara ini dapat melakukan transkrip bicara secara real-time dan langsung muncul di layar ponsel. Aplikasi yang tersedia untuk lebih dari 70 bahasa dan dialek ini juga memungkinkan pengguna membalas percakapan dengan cara mengetik di kolom yang telah disediakan.
Sekelompok mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) belum lama ini juga memperkenalkan "Hear Me". Aplikasi ini memungkinkan seseorang tanpa gangguan pendengaran berkomunikasi dengan teman tuli karena dapat mengolah suara menjadi bahasa isyarat yang dipresentasikan lewat gambar animasi.
Namun, sejauh ini, belum ada aplikasi yang memudahkan mereka menikmati fasilitas transportasi umum, seperti kereta komuter.
Ajeng kemudian berbicara tentang masalah tersebut dengan temannya yang kebetulan juga sama-sama mahasiswa administrasi negara, Grace Elizabeth Kristiani. Grace sendiri tergugah saat mendengarkannya, mengingat sebagai seorang berpendengaran normal saja ia pernah kelewatan stasiun karena tertidur dalam perjalanan. Apalagi, perjalanan KRL sering tidak mulus. Perhentian di sebuah stasiun, contohnya, bisa berlangsung lebih lama atau lebih singkat dari biasanya. Belum lagi memperhitungkan perubahan jalur di stasiun-stasiun besar.
Keduanya kemudian muncul dengan ide untuk membuat aplikasi yang membuat ponsel bergetar ketika pengguna hampir mencapai stasiun yang mereka tuju. Untuk mewujudkan ide itu mereka menggandeng Nandhika Prayoga, mahasiswa ilmu komputer UI, dan pembimbingnya Fikri Akbarsyah Anza, yang juga dosen FIA-UI. Tidak cuma itu, mereka kemudian memutuskan untuk mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Karsa Cipta UI 2020 untuk merealisasikan idenya.
Nandhika mengatakan, “Yang jadi andalan aplikasi ini adalah notifikasi getarnya. Fitur ini sebenarnya sederhana namun menarik banget karena akan sangat membantu teman tuli. Itulah alasan utama mengapa saya tertarik untuk terlibat dalam mengembangkan aplikasi ini.”
Nandhika lebih lanjut menjelaskan bahwa aplikasi yang kemudian diberi nama Muter, singkatan dari Teman Tuli, Teman Dengar, mengandalkan global positioning system (GPS).
“Sebenarnya 'kan kita tidak mengukur waktu, tapi mengukur jarak. Kita memanfaatkan GPS untuk melihat posisi pengguna dari posisi stasiun tujuan. Aplikasi itu kemudian akan melakukan komputasi jarak. Terserah kepada pengguna untuk menentukan pada jarak berapa mereka mendapat notifikasi getar,” jelas Nandika.
Ajeng, Grace dan Nandhika juga bertukar pikiran tentang fitur-fitur lain yang dapat menambah nilai bagi pengguna aplikasi mereka. Mereka mempertimbangkan untuk menambahkan fitur bahasa isyarat dan live-chat untuk memudahkan pengguna dalam berkomunikasi satu sama lain selama naik kereta. Mereka juga mempertimbangkan untuk melibatkan operator jalur komuter PT Kereta Commuter Indonesia dengan mengintegrasikan feed Twitter-nya pada aplikasi tersebut.
Tim tersebut mendapat sambutan hangat dalam survei sederhana mereka terhadap hampir 100 penumpang KRL yang terdiri dari orang-orang yang mengalami gangguan pendengaran dan yang tidak memiliki gangguan pendengaran. Pengembangannya dimulai pada awal September dan membutuhkan waktu tiga bulan untuk menyelesaikan aplikasi prototipe tersebut. Pada November lalu, mereka mempresentasikan prototipe mereka pada Pekan Kreativitas Mahasiswa Nasional 2020.
Mereka tidak meraih kemenangan dalam lomba itu. Namun itu tidak mengecilkan niat mereka untuk membantu komunitas tuna rungu. Mereka kini bahkan merencanakan untuk mendapatkan hak cipta dan mempersiapkan peluncuran aplikasinya.
Muter memiliki beberapa fitur, antara lain konten berita, chat, dan animasi-video BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). Yang terakhir ini hasil kerja sama mereka dengan Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo). Grace menceritakan alasan timnya bekerjasama dengan Pusbisindo.
“Untuk fitur bahasa isyarat kami menggandeng Pusbisindo karena setelah kami cari-cari ternyata tidak ada bahasa isyarat khusus terkait layanan KRL dan stasiun-stasiunnya. Pusbisindo tertarik untuk membantu kami dan melengkapi data-data baru terkait KRL dalam bahasa isyarat,” jelas Grace.
Yang tak kalah menarik, Muter juga memungkinkan komunikasi antara tunarungu dan non-tunarungu melalui visualisasi frasa dan kata dalam bahasa isyarat. Ajeng, Grace dan Nadhika berharap aplikasi ini kelak juga tersedia bagi penyandang tuna rungu di moda transportasi umum lain.
Fikri, pembimbing mereka, menyambut gagasan ini. “Fitur-fitur untuk aplikasi Muter ke depannya tidak hanya bisa diaplikasikan ke moda transportasi kereta api, tapi juga ke moda-moda transportasi lainnya. Misalnya, bus, entah itu untuk bus Transjakarta, Damri, Trans Sumatera dan lain-lain, atau untuk Jakarta, ada yang namanya MRT, LRT, dan kemudian angkot, seperti di Jakarta ada yang nama Jak Lingo, atau hal-hal lainnya yang tersangkut moda transportasi publik di Indonesia,” harapnya. [ab/uh]