Kepastian ketidakhadiran Myanmar disampaikan oleh Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian Keuangan Yogi Rahmayanti. Meski begitu, katanya, ajang AFMGM ini disambut dengan antusiasme yang luar biasa besar dari mereka yang akan hadir secara langsung.
“Nanti akan dihadiri oleh sembilan principal dari negara-negara ASEAN kecuali Myanmar. Seperti kita tahu Myanmar ada krisis di dalam negeri sehingga tidak akan hadir. Kemudian, yang baru tahun ini adalah akan mengundang Timor Leste untuk pertama kalinya karena sesuai dengan amanat dari leader dalam hal ini presiden sudah menyepakati bahwa Timor Leste akan bergabung dengan ASEAN. Untuk tahun ini mereka akan berpartisipasi sebagai observer,” ungkap Yogi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (21/8).
Yogi menjelaskan, para menkeu dan gubernur bank sentral se-ASEAN ini akan membahas target-target yang telah ditetapkan pada pertemuan AFMGM yang berlangsung Maret lalu. Selain itu, katanya, mereka juga akan mendiskusikan perkembangan ekonomi dunia yang berjalan dengan sangat cepat, tak terduga dan tidak bisa diprediksi.
“Ada akibat dari perang Rusia-Ukraina, kebijakan dari tingkat suku bunga di AS, adanya indikasi perlambatan ekonomi di China. Ini yang para menkeu dan gubernur bank sentral nanti akan diskusikan pada saat AFMGM, yang puncaknya nanti ada pertemuan di hari Jumat, hari terakhir,” tuturnya.
Selain itu, ia menekankan bahwa di dalam ajang AFMGM ini ada tiga klaster utama yang akan dibahas, yakni recovery and rebuilding pasca pandemi COVID-19; ekonomi digital; dan ekonomi yang berkelanjutan.
Terkait pilar ekonomi digital, Direktur Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Iss Savitri Hafid menuturkan agenda utama dalam pertemuan AFMGM kali ini, Indonesia ingin mendorong penguatan konektivitas pembayaran di kawasan (regional payment connectivity).
Iss menjelaskan, Indonesia sudah menangani memorandum of understanding (MoU) dengan lima negara ASEAN pada tahun lalu.
“Di tahun ini kita akan dorong lebih banyak lagi negara ASEAN lainnya yang akan ikut dalam MoU ini,” ungkap Iss.
Regional payment connectivity tersebut dilakukan melalui quick respons (QR) Code, fast payment, data real time gross settlement (RTGS) dan transaksi mata uang lokal n (LCT).
Menurutnya, dalam pertemuan ini, diharapkan ASEAN mempunyai kesepakatan regional payment connectivity dengan negara lain di luar ASEAN. Ia mengatakan, jika hal tersebut bisa diimplementasikan dengan baik maka digitalisasi tersebut bisa memfasilitasi pembayaran dengan lebih cepat, murah, mudah dan handal.
“Ini juga kaitannya dengan local currency transaction yang langsung dengan menggunakan local currency untuk settlement-nya. Kita mengharapkan biaya-biaya transaksi lebih murah , dan mudah,” katanya.
Masih menurut Iss, Indonesia sudah memiliki kesepakatan regional payment connectivity dengan Thailand dan Malaysia, sementara dengan Singapura masih dalam tahapan pilot project.
Iss menuturkan bahwa Vietnam akan segera bergabung dalam regional payment connectivity pada Jumat mendatang.
“Regional payment connectivity nanti akan menjadi salah satu motor baru untuk integrasi masyarakat ekonomi ASEAN.,” pungkasnya.
Ekonom Indef Eko Listyantono sepakat dengan adanya upaya penguatan digitaliasi ekonomi dalam ajang AFMGM kali ini. Menurutnya, regional payment connectivity akan menjadi sebuah jalan ekonomi baru.
“Mengantisipasi permintaan ke depan, orang akan semakin mudah bergerak di antara ASEAN. Itu hal yang esensial sekali. Sekarang esensial keduanya adalah bagaimana transaksi bisa mudah. Jadi menurut saya secara umum ini merupakan transformasi yang bagus, walaupun tantangannya juga banyak,” katanya.
Tantangan yang Eko maksud salah satunya adalah terkait infrastruktur pendukung. Indonesia, katanya, perlu memiliki koneksi internet yang kuat untuk merealisasikan digitalisasi pembayaran ini.
Lebih jauh, Eko juga melihat bahwa jika hal ini berjalan dengan lancar maka bukan tidak mungkin dominasi mata uang dolar Amerika Serikat bisa semakin berkurang.
“Ke depan kalau penggunaan size-nya semakin meningkat, itu bisa menstabilkan mata uang di masing-masing negara di kawasan ASEAN. Kalau sekarang banyak yang menukar ke USD karena stabilitasnya, jadi ok-lah kalau ke negara lain gak sempat nukar ke ringgit misalnya, saya bawa tunai USD, kan di sana juga diterima. Ini yang terjadi sekarang, kalau wisatawan mungkin gak besar, tapi pebisnis suka bawa USD dalam jumlah yang besar. sehingga ke depan, ini tidak perlu dilakukan lagi,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum