Beberapa jam setelah NATO mengambil alih operasi militer terhadap Libya, Sekretaris Jenderal aliansi itu, Anders Fogh Rasmussen, menetapkan tujuan operasi militer itu, yaitu melindungi rakyat Libya dan tidak mempersenjatai mereka.
Pernyataannya itu nampaknya bertentangan dengan saran para pejabat Amerika dan Inggeris bahwa operasi NATO yang dilancarkan sesuai dengan mandat PBB itu dibolehkan untuk mempersenjatai pemberontak yang memerangi pasukan pemimpin Libya Moammar Khadafi.
Gedung Putih mengatakan tidak ada keputusan yang diambil berkenaan dengan mempersenjatai pemberontak, tetapi sedang mempertimbangkan semua pilihan.
Keberhasilan yang dicapai pasukan Khadafi baru-baru ini memperhebat perdebatan itu. Pada konperensi pers di Brussels hari Kamis, Ketua Komisi Militer NATO Laksamana Giampaolo Di Paola mengakui masalah mempersenjatai pemberontak masih belum terselesaikan.
Di Paola mengatakan, “Jika kita simak arah perdebatan itu, ada pihak-pihak yang punya penafsiran berbeda. Jadi tidak jelas apakah ada pelanggaran resolusi PBB atau tidak.”
Dilaporkan juga bahwa agen-agen CIA dan intelijen Inggeris berada di Libya mengumpulkan data-data bagi pelaksanaan serangan udara. Di Paola mengatakan NATO tidak mempermasalahkan sumber data-data intelijennya. “Mereka menyediakan data-data intelijen dan kami menggunakannya. Negaralah yang memutuskan jenis data intelijen yang mereka berikan dan kami tidak mempermasalahkan sumber data intelijen itu,” ujarnya.
Di Paola juga mengatakan bahwa adanya unsur-unsur al-Qaida di antara kelompok oposisi Libya tidak mengejutkan mengingat posisi geografis dan ketidakstabilan di negara Afrika Utara itu. Keprihatinan mengenai kehadiran al-Qaida katanya mendorong perdebatan mengenai perlunya mempersenjatai kelompok oposisi.
Secara terpisah, Inggeris mengatakan Menteri Luar Negeri Libya, yang ternyata membelot ke London, tidak mendapat kekebalan diplomatik. Tetapi Menteri Luar Negeri Inggeris,William Hague, mengatakan pembelotan itu menegaskan bahwa rejim Khadafi terpecah dan tercerai berai.