Perang selama lima tahun di Suriah menjadi perhatian utama para diplomat hari Selasa (17/5) di Wina, tempat kelompok 17 negara anggota Kelompok Internasional Pendukung Suriah (ISSG) mengadakan pertemuan untuk membahas pembicaraan politik yang macet, kesulitan dalam mempertahankan gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan PBB yang tidak merata.
Gencatan senjata, yang mulai berlaku pada akhir Februari, membawa penurunan dramatis dalam kekerasan secara keseluruhan di Suriah, namun kemajuan secara perlahan-lahan telah terkikis.
Amerika dan Rusia berusaha menggunakan pengaruh mereka untuk meyakinkan pihak-pihak yang bersaing mematuhi perjanjian sementara juga harus berusaha mendukung pembicaraan damai yang sejauh ini mencapai sedikit kemajuan.
Gencatan senjata juga dimaksudkan untuk mempermudah pemberian bantuan bagi warga Suriah yang sangat memerlukannya, terutama mereka yang berada di daerah-daerah yang dikepung oleh salah satu pemberontak atau pasukan pemerintah.
Tetapi PBB dan organisasi-organisasi kemanusiaan melaporkan terjadi serangan terhadap konvoi mereka serta pencurian perbekalan.
Sejak tahun 2012, PBB telah berusaha keras mencari penyelesaian politik yang dirundingkan terhadap konflik yang telah menewaskan ratusan ribu orang dan menyebabkan jutaan lainnya menjadi pengungsi, baik di dalam maupun di luar negeri.
Kendala utama yang masih ada sewaktu kelompok ISSG mengadakan pertemuan terbaru adalah nasib Presiden Suriah Bashar al-Assad. Amerika dan negara Barat kuat lainnya menghendaki ia mundur, sedang Assad dan sekutunya Rusia menolak hal itu.
Utusan PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura telah menyatakan bahwa dia akan menunggu hasil pembicaraan hari Selasa sebelum menetapkan tanggal bagi pembicaraan berikutnya lewat perantara antara pemerintah Suriah dan pihak oposisi. [sp]