Negara-negara Teluk Arab berkumpul, Selasa (29/3), untuk melangsungkan pertemuan puncak tentang perang bertahun-tahun di Yaman. Pertemuan itu diboikot oleh kelompok pemberontak Houthi karena berlangsung di Arab Saudi, musuh mereka dalam konflik itu.
Keputusan kelompok yang didukung Iran untuk melewatkan KTT yang diselenggarakan oleh Dewan Kerjasama Teluk (GCC) itu mendorong banyak pihak mempertanyakan keefektifan pertemuan seperti itu.
PBB, para diplomat, dan berbagai pihak menyerukan gencatan senjata untuk menandai bulan suci Ramadhan, serupa dengan upaya gencatan senjata selama beberapa tahun terakhir. Ramadhan kemungkinan akan dimulai akhir pekan ini, tergantung pada penampakan bulan sabit.
GCC -- kelompok enam negara yang mencakup Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab -- mengadakan pembicaraan tertutup itu di Riyadh, Selasa. Pada hari Senin, Sekjen GCC Nayef al-Hajraf mengadakan pembicaraan dengan Duta Besar Inggris untuk Yaman Richard Oppenheim dan para pejabat Yaman yang bersekutu dengan pemerintah yang diakui secara internasional tetapi diasingkan.
Menurut media pemerintah Arab, Saudi Press Agency, pembicaraan itu menyoroti usaha al-Hajraf, seorang politisi Kuwait, menghentikan perang dan membahas cara-cara untuk mencapai perdamaian yang komprehensif untuk meringankan penderitaan rakyat Yaman.
Houthi menolak KTT itu karena berlangsung di Arab Saudi; dan karena masih berlanjutnya penutupan bandara Sanaa dan pembatasan pelabuhan negara oleh koalisi pimpinan Saudi. Kelompok pemberontak itu menyerukan agar pembicaraan diadakan di negara “netral.”
"Rezim Saudi harus membuktikan keseriusannya terhadap perdamaian ... dengan menanggapi gencatan senjata, mencabut pengepungan dan mengusir pasukan asing dari negara kita," tulis juru bicara Houthi Mohammad Abdul-Salam di Twitter. “Kemudian perdamaian akan datang dan inilah saatnya untuk berbicara tentang solusi politik dalam suasana yang tenang jauh dari tekanan militer atau kemanusiaan.'' [ab/uh]