Tindakan kekerasan, intimidasi, hingga pelecehan seksual masih terus menghantui para buruh perempuan di perkebunan sawit. Tak terkecuali buruh perempuan migran yang juga bekerja di perkebunan sawit di negara tetangga seperti Malaysia.
Ketua Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri, Musdalifah menuturkan masih banyak ditemukan buruh migran perempuan di perkebunan sawit asal Sulawesi Selatan yang menjadi korban tindak kekerasan hingga pelecehan.
“Di tahun 2020 kami menemukan beberapa kasus yang sejak lama terus terjadi. Di mana situasi kekerasan, intimidasi, pelecehan, dan diskriminatif masih ditemui teman-teman yang bermigrasi khususnya mereka yang menjadi buruh di perusahaan sawit,” kata Musdalifah dalam sebuah diskusi daring, Rabu (9/12).
Tak sampai di situ, menurut Musdalifah, buruh migran perempuan di perkebunan sawit juga kerap dieksploitasi dan dipaksa bekerja melewati batas waktu. Bahkan buruh migran perempuan di perkebunan sawit tinggal di tempat yang jauh dan tak layak.
“Secara tidak langsung perusahaan, mandor atau calo perekrut itu telah melakukan eksploitasi tenaga dan tubuh perempuan,” ungkapnya.
SP Anging Mammiri menyebut ada beberapa faktor penyebab buruh migran perempuan di perkebunan sawit masih dihadapkan dengan kondisi tersebut. Mulai dari relasi kuasa yang timpang, iming-iming kehidupan yang baik, rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, hingga belum adanya kebijakan yang menjamin perlindungan serta pemenuhan hak perempuan buruh migran.
Musdalifah menyayangkan minimnya respons pemerintah terhadap isu ini, bahkan tidak melakukan penanganan trauma akibat kekerasan yang dialami buruh perempuan ketika kembali ke Indonesia.
“Buruh migran perempuan sudah mengalami kekerasan, intimidatif, pelecehan seksual. Tapi trauma itu tidak dijadikan sesuatu yang penting oleh pemerintah sehingga tidak ada penanganan khusus yang dilakukan untuk memulihkan trauma yang dirasakan buruh migran perempuan,” ungkapnya.
Serbundo : Tak Jarang Buruh Migran Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit Alami Kekerasan Seksual
Tak jauh beda dengan nestapa yang dihadapi buruh migran perempuan di negara tetangga. Hal serupa juga kerap dialami buruh perempuan perkebunan sawit di Indonesia.
Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo), Nurhaimah Purba menuturkan permasalahan kompleks seperti status hubungan kerja yang rentan, beban kerja tinggi, upah di bawah ketentuan, hingga minimnya alat pelindung diri saat bekerja, dan kekerasan seksual masih menjadi persoalan bagi para buruh perempuan di perkebunan sawit di Indonesia.
“Kami masih menemukan buruh perempuan diintimidasi seperti diancam dan dipaksa untuk meminum air seni, itu masih terjadi,” ungkapnya.
Sementara itu Direktur Sawit Watch, Inda Fatinaware mengatakan tidak adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap buruh perempuan di perkebunan sawit menjadi penyebab mengapa hal tersebut masih terus terjadi.
“Sampai saat ini tidak ada, pemerintah beralasan bahwa tidak punya anggaran untuk melakukan itu (perlindungan terhadap buruh),” katanya. [aa/em]