Raut kemarahan dan kekecewaan tampak jelas di wajah puluhan orang dari Koalisi masyarakat sipil, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), serta masyarakat dari Sulawesi dan Maluku Utara yang rela menempuh perjalanan jauh untuk menggelar aksi protes acara Konferensi Mineral Kritis Indonesia 2024. Acara ini diadakan di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, dan berlangsung dari 11 hingga 13 Juni 2024.
Dalam aksinya pada Kamis (13/6) mereka menyerukan penyelenggara untuk menghentikan kegiatan eksplorasi pertambangan yang telah berdampak sangat buruk terhadap lingkungan dan mata pencaharian warga yang tinggal di kawasan sekitar tambang.
Aksi protes mereka sempat dihalangi oleh petugas hotel karena dilakukan di dalam area hotel. Sebelum akhirnya diarahkan keluar, para pemuda tersebut tetap mendesak dilakukannya penghentian eksplorasi pertambangan. Mereka juga mengimbau dunia untuk tidak membeli apa yang mereka sebut sebagai "nikel kotor" dari Indonesia.
Wilman, salah satu pemuda yang berasal dari Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara mengungkapkan di balik hilirisasi nikel yang selalu diagung-agung oleh pemerintah, masyarakat di sana menanggung beban yang sangat berat. Pertambangan nikel tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat parah dan bencana alam. Setidaknya 5.000 warga dari 10 desa di Pulau Wawonii terdampak dalam kurun beberapa waktu terakhir.
“Yang pertama dia ciptakan itu konflik sosial dulu, kemudian terjadi polarisasi antara pro dan kontra. Kemudian setelah melakukan penggalian nikel, melakukan penebangan pohon maka bencana selanjutnya adalah bencana banjir, bencana kekeringan, krisis air bersih,” ungkap Wilman.
Masyarakat di Pulau Wawonii, yang kata Wilman sebelumnya menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan perikanan, praktis tidak bisa merasakan hasil yang memuaskan lagi dari kedua sektor tersebut.
Warga, kata Wilman, sebenarnya sudah menempuh jalur hukum, yakni menggugat rencana tata ruang wilayah kepulauan dan sudah menang di tingkat Mahkamah Agung (MA). Namun, perusahaan tambang melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), dan perusahaan tambang tersebut tetap kalah, katanya.
“Namun sayangnya kemenangan yang kami miliki melalui jalur hukum itu tidak menghentikan aktivitas perusahaan, malah perusahaan semakin brutal, semakin masuk dan melakukan penerobosan lahan pertanian warga,” tuturnya.
Masyarakat pun berupaya melaporkan penerobosan lahan pertanian yang dilakukan oleh perusahaan ini, namun sayangnya laporan ini sama sekali tidak diproses oleh kepolisian. Bahkan, warga yang melawan kerap dikriminalisasi.
Pemuda berusia 28 tahun ini berharap kepada pemerintah untuk segera menghentikan aktivitas pertambangan dan hilirisasi nikel, karena sama sekali tidak ada manfaatnya bagi masyarakat yang berada di dalam lingkar tambang tersebut.
“Yang kami dapatkan hanya kehancuran, hanya kemiskinan yang akan terjadi, bahkan akan terjadi kemiskinan berkepanjangan kemudian kerusakan lingkungan yang berkepanjangan. Ketika pemerintah akan memaksakan, maka bukan hanya bencana alam, bukan hanya krisis air bersih tetapi kami akan mati karena kita mau berharap apa lagi ketika alam kami rusak sementara kami menggantungkan kehidupan di sektor pertanian dan kelautan,” tegasnya.
Salah Mengartikan Solusi Perubahan Iklim
Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil, menyatakan bahwa ambisi pemerintah untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik sebagai solusi untuk memerangi krisis iklim adalah sebuah kekeliruan.
Bagaimana tidak, Indonesia, yang merupakan salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia dan sumber bahan baku baterai kendaraan listrik, dieksplorasi secara besar-besaran oleh pemerintah. Hilirisasi nikel yang selalu diagung-agungkan sebagai demi kesejahteraan bangsa dan negara, kenyataannya malah membebani masyarakat yang harus menanggung dampak berat akibat aktivitas eksplorasi tersebut.
“Sebenarnya ini adalah sebuah daya rusak turunan dari ketika solusi perubahan iklim itu ditafsirkan keliru menjadi kuantifikasi dan akal-akalan finansial, lalu kemudian diterjemahkan jauh lebih rumit yang ternyata keluarnya adalah kendaraan berbasis tenaga listrik yang berbasis baterai,” ungkap Jamil.
Jika pemerintah terus mengeksplorasi nikel secara besar-besaran, katanya, maka sesungguhnya Indonesia berada dalam bahaya. Mengapa? Cadangan nikel di Tanah Air umumnya terpusat di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara hingga ke Papua. Hampir seluruhnya cadangan nikel tersebut berada di wilayah pesisir dan pulau kecil.
“Pulau kecil hilang, dan tenggelam, itu dampak paling ekstrem,” katanya.
“Kemudian bisa kita bayangkan, teknikal datang, memporakporandakan semua lalu kemudian 2013 terjadi pemekaran kabupaten, nama Pulau Wawonii dihapus. Diubah menjadi Labupaten Konawe kepulauan. Jadi sejarahnya diputus, kemudian kita bayangkan pulaunya ditambang, hilang, Pulau Wawonii tenggelam, orang atau masyarakatnya mau pulang ke mana? Padahal hanya satu di dunia, dan orang Wawonii, saya kira sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai orang wawonii karena pulaunya sudah hilang,” jelasnya.
Analisis dampak lingkungan atau Amdal yang seharusnya digunakan sebagai instrumen pencegahan kerusakan lingkungan pun, katanya, seolah tidak diindahkan oleh pemerintah. Menurutnya Amdal saat ini digunakan hanya sebagai alat pemulus investasi.
Keadaan ini, katanya, sangat memprihatinkan. Meskipun masyarakat telah menempuh jalur hukum dan bahkan memenangkan kasus di pengadilan, mereka seolah tidak memiliki daya apa pun untuk mempertahankan apa yang seharusnya menjadi hak mereka.
“Sejak awal tidak setara kekuatannya termasuk negosiasi dan sebagainya yang tidak setara. Sehingga menjadi wajar kemudian kalau mereka menggeruduk kemarin, untuk menunjukkan bahwa akibat ambisi perubahan iklim, ambisi clean energy itu kehidupan yang dikorbankan juga tidak kecil dan justru tidak terlihat agenda transisinya. Justru terlihat semacam agenda substitusi energi karena pelaku dan pebisnisnya juga sama,” tegasnya.
Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memahami kemarahan masyarakat yang berada di lingkar tambang. Pasalnya, ketika masyarakat sudah memenangkan gugatan di pengadilan, kekuatan hukum tersebut sama sekali tidak berarti bagi mereka. Di lapangan, warga tetap tidak berdaya menghadapi kekuatan besar dari perusahaan tambang yang tetap saja melakukan aktivitas pertambangannya.
“Dalam konteks negara hukum ini adalah sebuah situasi di mana negara yang melakukan pelanggaran hukum, negara melakukan korupsi secara langsung. Jadi ini bentuk pembangkangan secara nyata dari pemerintah terhadap hukum karena hukum sendiri itu pertama wajib melindungi masyarakat dari kerusakan lingkungan, kedua, kalaupun tidak ya ada pemulihannya,” ungkap Isnur.
“Ada gugatan ke pengadilan dan warga sudah menggugat ke pengadilan, menang pula. Harusnya pemerintah melaksanakan perintah pengadilan, tidak mendiamkan saja, tidak terus-terus melanggar. Makanya warga berhak marah dan menyatakan pendapatnya di muka umum, mendesak konferensi itu menutup tambang-tambang yang memang tidak clean dan tidak clear,” tambahnya.
Menurutnya, jika jalur hukum memang sudah tidak ampuh lagi di negeri ini maka warga berhak mempertahankan haknya dengan cara apapun. Meskipun risiko untuk dikriminalisasi cukup besar bagi masyarakat yang berada di lingkar pertambangan. Hal tersebut kemungkinan bisa terjadi, karena rakyat tidak memiliki pilihan lain.
“Pada akhirnya mereka akan pakai cara masing-masing , mau memakai cara adat, nilai lokal dan itu harus dihargai, termasuk mengusir perusahaan secara paksa itu haknya warga.” pungkasnya. [gi/ah]
Forum