Nissa Wargadipura, pengelola Pesantren Ath-Thaariq di Garut, Jawa Barat, pada hari Rabu (16/10) menjadi salah seorang penerima anugerah bergengsi “FAO Heroes” atau “Pahlawan Pangan” dari Badan PBB Urusan Pangan Dunia (Food & Agriculture Organization) FAO. Nissa adalah salah seorang dari 26 tokoh dunia yang dinilai berhasil membantu mewujudkan akses dan ketersediaan pangan yang beragam, bergizi, terjangkau dan aman.
Berkerudung putih merah jambu, Nissa yang berperawakan kecil, naik ke atas panggung bersama tujuh penerima lain yang hadir langsung di acara penganugrahan penghargaan “Food Hero’s FAO Global Family Farming Forum” di Roma, Italia.
Diwawancarai VOA melalui telepon sesuai menerima penghargaan itu, Nissa mengatakan “Food Heroes” yang diterimanya seakan “menggeser paradigma yang ada selama ini tentang apa yang disebut sebagai pertanian yang berhasil.”
Nissa, yang sejak tahun 2008 mengajarkan santri-santrinya beragam teknik pertanian yang fokus pada pangan bernilai gizi tinggi dan model perkebunan keluarga berkelanjutan (family farming), mengatakan “family farming atau perkebunan keluarga berbasis biodiversity (keanekaragaman) dan tidak memakai pupuk kimia, terbukti berhasil menggeser cara pandang dari pertanian modern dan revolusi hijau ke gerakan agro-ekologi.”
“Lihat bagaimana gerakan family farming yang dilakukan petani-petani kecil ini justru dapat menjadi gerakan besar,” tambahnya penuh semangat.
“Lihat bagaimana yang memastikan akses pada pangan, dan bahkan menyelamatkan pangan dunia, bukan perusahaan-perusahaan multi nasional atau multi internasional, tetapi rakyat.”
Dirjen FAO: Pangan adalah HAM
Dalam acara yang berlangsung di tengah gejolak politik dunia dan perubahan iklim itu, Dirjen FAO Qu Dongyu, menekankan bahwa pangan adalah hak asasi manusia. Ia menggambarkan tema Hari Pangan Sedunia tahun ini – yaitu “Hak atas Pangan untuk Kehidupan yang Lebih Baik dan Masa Depan yang Lebih Baik” – sebagai pengingat bahwa semua orang berhak atas kecukupan pangan.
Data FAO menunjukkan ada sekitar 730 juta orang yang menghadapi kelaparan dan lebih dari 2,8 miliar orang di seluruh dunia yang tidak mampu mendapatkan makanan sehat. Oleh karena itu Qu Dongyu mendesak seluruh pemangku kepentingan untuk “mengambil tindakan segera” guna membangun sistem pertanian pangan yang dapat “memberi gizi pada dunia.”
Pertahankan Kearifan Lokal
Saat memperkenalkan Nissa, pembawa acara di forum FAO itu menyebutnya sebagai penggagas sekolah petani muda “yang membantu petani memiliki keahlian pertanian berkelanjutan dengan tidak melupakan nilai-nilai kearifan lokal.”
“Ia (Nissa.red) telah berbagi ilmu ke seluruh masyarakat di sekitarnya,” tambahnya.
Sebagai perempuan yang lahir dari keluarga petani, yang senantiasa menggantungkan mata pencahariannya dengan mengolah lahan pertanian dan perkebunan di kaki Gunung Papandayan, di Garut, Jawa Barat, Nissa mengatakan kearifan lokal terbukti ikut menjaga dan mempertahankan ketersediaan pangan.
“Dalam kearifan lokal orang Sunda, kita mengenal sawah. Sawah adalah gudang makanan yang paling variatif, mudah diakses, murah dan aman. Di gudang makanan ini kita menemukan makanan yang berbeda-beda. Ada padi, ada eceng sawah, tutut, keong mas, genol atau ikan kecil-kecil, jamur yang tumbuh subur di pinggir2 pematang terutama setelah hujan dan banyak lainnya. Kekayaan luar bias aini baru di sawah saja. Ini semua aksesnya sangat mudah, murah dan jika dikelola secara organik maka circular economy yang dikelola pesantren ekologi ini tak terhingga. Bayangkan bagaimana jerami misalnya, yang setelah panen tidak dibuang, tapi dijadikan pakan ternak bebek dan angsa; atau daun-daun yang kering, dikumpulkan dan ditanam di tanah. Ini tidak terjadi dalam revolusi hijau karena semua harus bersih untuk kemudian diberi pupuk urea. Tapi kami mempertahankan apa yang ada di alam. Belum lagi jika kita bicara azola pinata yang sangat pintar menangkap protein dan oksigen di dalam udara,” ujar Nissa yang akan memaparkan semua hal ini dalam forum dialog internasional di FAO pada hari Kamis (17/10).
Melindungi Hak Petani atas Lahan Hingga Mendorong “Family Farming”
Nissa Wargadipura dikenal luas di Garut sejak masih mahasiswa ketika ia melindungi hak-hak petani lokal dan menentang kebijakan pembebasan lahan tahun 1989. Pada tahun 1997 sekitar 700 petani berhasil mendapatkan lahan mereka kembali, tetapi Nissa tidak berhenti hingga di situ karena berikutnya ia menarget pemberdayaan petani lewat pembentukan “Serikat Petani Pasudan.”
Salah satu organisasi petani yang paling berpengaruh di Jawa Barat itu kini memiliki lebih dari 100.000 anggota. Mereka berupaya keluar dari tekanan tengkulak yang menguasai pasar, benih hingga pupuk, dan bahkan mengatur harga jual. Walhasil petani hampir tidak punya uang untuk bertahan hidup dan harus selalu bergantung pada tengkulak.
Di situs FAO, Nissa menceritakan bagaimana terjun ke dunia pendidikan dengan mendirikan pesantren menjadi jalan satu-satunya jalan agar para petani dan keluarga mereka percaya pada kearifan lokal.
Sejak awal didirikan pada tahun 2008, Pesantren Ath-Thaariq – yang berarti “jalan” – tidak saja mendidik santri soal agama, pendidikan tradisional dan formal, tetapi juga agroekologi, ketahanan pangan dan pengolahan hasil panen bernilai gizi tinggi. Ia juga mendorong peran aktif perempuan dalam komunitas pertanian ini.
Di lahan seluas satu hektar, Nissa merancang sistem penanaman tumpang sari di mana beragam tanaman dibudidayakan secara bersamaan, di lahan yang sama. Ia hanya membaginya berdasarkan zona, misalnya buah-buahan tropis, makanan pokok, rempah-rempah, atau kolam ikan.
Nissa: Mendorong Anak Muda Tertarik pada Family Farming Bukan Hal Mustahil
Nissa mengatakan dunia seharusnya bangga dengan ketertarikan dan kesungguhan anak-anak muda pada family farming yang dapat menyediakan makanan yang beragam, bergizi, terjangkau dan aman.
“Saya biasanya masuk ke mereka dengan menjelaskan betapa mereka kini hidup dalam situasi yang terancam karena serba instan. Bagaimana sekarang ini ada begitu banyak penyakit baru seperti migrain, depresi, diabetes, ovum yang tidak berkualitas, sperma yang tidak sehat dan kelak generasi yang tidak berkualitas. Ini kami masukkan di kurikulum dan akhirnya justru serius menekuni hal ini. Mereka jadi punya kesadaran yang sangat tinggi soal apa yang mereka tanam, apa yang mereka konsumsi dan hasilnya kelak. Ini suatu yang dapat dicapai, bukan sesuatu yang mustahil,” tegas Nissa.
Perkebunan atau pertanian keluarga (family farming) seakan menjadi cara untuk menebus kegagalan revolusi hijau. Lewat teknik ini, Nissa dan 27 “Pahlawan Makanan” lainnya mendorong pelestarian produk makanan tradisional yang menggunakan sumber daya alam berkelanjutan, sambil sekaligus menjaga keanekaragaman hayati dunia. Target besar yang menurut Nissa sebenarnya dapat dimulai dari halaman belakang rumah kita sendiri. [em/jm]
Forum