Apa yang biasanya Anda lakukan dengan teman-teman Anda ketika berkumpul bersama? Makan-makan? Saling bertukar cerita? Itu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan lima sekawan asal Bandung, Jawa Barat yang menjuluki diri dengan nama Pandawara. Namun, pada pertengahan tahun ini, mereka menambah satu agenda lagi di sela-sela waktu nongkrong, yaitu membersihkan sampah yang menyumbat saluran air di lingkungan mereka.
“Kita berkegiatan seperti itu tuh liburnya dua hari, lima hari full. Misal hari ini kita cari sungai-sungai yang kotor, nah besoknya kita terjun langsung,” kata Muhammad Rifqi Sa’dulloh, salah satu dari lima pemuda itu, saat diwawancarai VOA pada Jumat (9/12).
Pemicunya, mereka capek terus-menerus mengalami kebanjiran.
“Kita suka terdampak banjir. Bukan cuma di rumah Gilang, kadang di rumah saya pun terkena dampaknya kalau misalnya memang hujan deras. Daripada kita membersihkannya setelah banjir, gimana sih cara menanggulangi supaya tidak banjir?” ungkap Muchamad Ikhsan Destian, yang dua tahun lebih muda dibanding Rifqi. Rumah Gilang adalah basecamp geng mereka.
“Ya udah, mending kita terjun aja menanggulangi supaya tidak banjir, daripada kita lagi nongkrong asik-asik, kebanjiran mulu,” lanjut Ikhsan.
“Beres-beres rumah lagi, beres-beres rumah lagi,” timpal Rifqi, menyeletuk.
Wawancara virtual itu hanya berlangsung dengan Ikhsan dan Rifqi, tanpa Gilang, Rafly dan Agung, yang saat itu sedang meeting dengan salah satu calon pengiklan.
Jenama tertarik pada mereka setelah video-video yang memperlihatkan mereka membersihkan rupa-rupa sampah di sungai hingga parit viral di TikTok melalui akun Pandawara Group, yang kini telah memiliki 1,2 juta pengikut dengan sedikitnya 26,7 juta likes. Dengan pilihan musik latar yang apik, pengambilan dan penyuntingan gambar yang baik, serta aksi yang nyentrik, video-video Pandawara dibanjiri ribuan komentar warganet yang kagum pada aksi mereka, meski terselip beberapa tanggapan sinis.
“Jadi suatu malam kita pernah ngobrol. Biasa lah anak-anak ngobrol. Tiba-tiba mikir, ‘Kita tuh diciptain di dunia tuh buat apa sih? Pasti ada tujuannya, kan?’ Kita pun ingin jadi orang bermanfaat. Tapi gimana? Kalau misalkan kita jadi presiden, nggak akan mungkin nih… Kita jadi ustadz, wah, jauh lah… Nah, kita tuh akhirnya (berpikir) pergerakan ini yang bisa bermanfaat bagi orang-orang yang nonton,” jelas Rifqi, yang tengah menyelesaikan skripsinya di jurusan Ilmu Ekonomi salah satu universitas di Bandung.
Mereka berlima sebenarnya sudah mengira konten mereka akan viral, tetapi tak menyangka sambutannya sebesar yang mereka terima. Tujuan awalnya sederhana, yaitu agar lebih banyak orang peduli pada masalah sampah dan memulai kebiasaan baik untuk membuang sampah pada tempatnya.
“Jangan jadikan kegiatan Pandawara itu sebagai tren. Jadikanlah sebagai habit baru. Kalau tren pasti naik-turun, tapi kalau misalnya udah jadi habit, gerakannya jangka panjang," katanya.
Hampir Hanyut dan Aroma Busuk
Ikhsan bercerita, kedua orang tuanya mendukung kegiatan ia dan teman-temannya di Pandawara, tapi juga mengkhawatirkan keselamatannya. Bagaimana tidak, mereka pernah hampir hanyut saat melakukan aksi bersih-bersih.
“Jadi kita lagi beres-beres di sungai A. Memang dalam kondisi hujan, cuma hujannya nggak deras. Nah, kita beres-beres, udah mau beres – Rifqi yang lihat – dari belakang itu kiriman air sama sampahnya banyak banget. Tinggi, deras. Kalau misalkan kita telat naik ke atas, udah nggak tahu sih (kita) bakal masih ada atau nggak,” tutur mahasiswa tingkat tiga jurusan manajemen bisnis telekomunikasi informatika salah satu universitas di Bandung itu.
Sementara itu, Rifqi menceritakan pengalaman teranehnya sejauh ini.
“Pernah nih dapat pocong-pocongan sama boneka kecil, tapi di dalamnya ada beras. Dan kemarin itu kita nemu bangkai domba, bangkai kucing,” ungkapnya, yang mengaku kerap tak kuat menahan aroma busuk sampah yang mereka bersihkan. Itu sebabnya, kata Ikhsan, mereka sering beraksi di tengah hujan, agar aroma petrikor membantu mengurangi bau tak sedap yang harus mereka hadapi.
Aksi mereka tak jarang menarik perhatian warga sekitar. Tanpa seragam petugas kebersihan, warga kadang kebingungan untuk apa mereka berlima terjun ke parit dan sungai kotor. Di antara mereka ada yang bersimpati dengan memberikan penganan untuk disantap Pandawara di sela aktivitas, tapi ada juga yang tanpa tedeng aling-aling membuang sampah di hadapan mereka ke dalam saluran air yang sedang mereka bersihkan.
“Kita juga takut kalau mau mengingatkan, takutnya nggak sopan,” kata Rifqi singkat.
Yang pasti, mereka tak berkecil hati dengan tanggapan miring yang muncul terhadap aksi mereka.
Menginspirasi Gerakan Serupa
Sekali berkegiatan, Ikhsan, Rifqi, Gilang, Rafly dan Agung harus merogoh kocek hingga Rp500 ribu demi menyewa mobil bak untuk mengangkut sampah, “membayar TPS” alias tempat penampungan sampah sementara, serta membeli alat bersih-bersih. Tidak tanggung-tanggung, mereka biasanya bisa mengumpulkan 50-60 kantong sampah sekali jalan.
Sejauh ini, sebagian besar ongkos itu mereka tanggung sendiri dari saku pribadi. Sementara donasi yang mereka terima dari pihak swasta dan para influencer tidak mencukupi. Pemerintah setempat juga belum memberikan dukungan apa pun, kecuali berupa “repost” unggahan viral mereka – meski mereka sendiri mengaku tidak mengharapkan apa-apa.
“Sebenarnya cita-cita kita untuk ke depannya itu pengin punya TPS sendiri, karena kadang kita dipersulit untuk buangnya, terus harus bayar terus. Makanya kita pengin punya TPS sendiri, yang isinya nanti kita bisa pilah-memilah sampah, terus si sampahnya bisa didaur ulang,” ungkap Rifqi.
Tak sedikit warganet yang kagum lantas menawarkan diri untuk bergabung dengan mereka. Namun, Ikhsan dkk belum siap menanggung risiko keselamatan dengan adanya sukarelawan tambahan. Mereka justru lebih senang – dan menganggap lebih efektif – kalau warganet memulai pergerakan serupa di wilayah mereka masing-masing, seperti yang dilakukan sekelompok anak muda di Cikampek, Jawa Barat, yang menamai diri mereka Superhero Kebersihan.
“Awal mulanya saya lagi scroll TikTok. Saya terinspirasi dari Pandawara Group. Kalau Pandawara Group kan di sungai, kita di darat,” ujar Hikmal Fauzan Mubarok saat diwawancara VOA secara terpisah (15/12).
Hikmal dan kelima sahabat masa kecilnya, yang kini belum memiliki pekerjaan, memilih menghabiskan waktu mereka sebulan terakhir dengan membuat konten bersih-bersih layaknya Pandawara.
“Masih pada nganggur. Daripada diam, mending cari sesuatu yang bermanfaat buat diri kita, juga buat diri orang lain,” ungkap Muhammad Reza Eka Permana, teman Hikmal yang juga hadir saat diwawancarai VOA melalui Zoom.
Kini akun TikTok mereka sudah diikuti oleh 16.900 followers dengan ribuan komentar positif yang memuji aksi mereka. Hikmal mengaku, ia dan teman-temannya ingin semakin banyak warganet tertular virus bersih-bersih itu.
“Semakin banyak pengguna (internet) kayak gini, Indonesia semakin bagus dan bersih,” ujarnya.
Aksi para pemuda itu diapresiasi Dwi Sawung, manajer tata ruang dan infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), yang menyebut aksi mereka sebagai bentuk kesadaran individu yang “bagus.”
Namun, aksi tersebut belum cukup untuk bisa mengatasi persoalan pengelolaan sampah dalam skala besar, kata Dwi. Meski platform yang dimiliki Pandawara – dengan sejuta followersnya – cukup besar, namun belum tentu warganet yang mem-follow mereka di dunia maya akan mengikuti aksi mereka di dunia nyata.
Perubahan itu juga tidak akan tercipta sebelum sistem pengelolaan sampah di kota/kabupaten tempat mereka tinggal diperbaiki. Yang membuang sampah sembarangan tetap membuang sampah seenaknya, yang membersihkan sampah tetap membereskan masalah sampah, ungkap Dwi.
“Secara pendidikan memang salah, udah salah di awal,” ujar Dwi, merujuk pada lemahnya kebiasaan buang sampah pada tempatnya sedari dini." (Tapi) ada juga yang nggak punya pilihan lain, nggak ada sistem pengelolaan sampah di kota/kabupatennya. Jadi dia ngga punya pilihan lain [untuk] tempat dia buang sampah. Kalau mau membuang ya hanya di saluran air, dia nggak punya tempat pilihan lain untuk buang sampah. Nggak ada pengangkutan di tempatnya,” papar Dwi.
Hal itu sejalan dengan cerita Pandawara. Rifqi sempat bertanya kepada warga di sekitar tempat mereka beraksi tentang alasan warga membuang sampah ke aliran sungai.
“Pak, kenapa sih sampai bisa… ini sampah kan harusnya nggak di sini, kenapa di sini buangnya?’ ‘Karena pemerintah nggak buat mempermudah, nggak ada tempatnya, nggak dibuat tempat sampahnya,’” tutur Rifqi, menirukan kembali percakapannya.
Namun, ia maupun Ikhsan tidak mau hanya menyalahkan pemerintah. Menurut mereka, masyarakat harus punya kesadaran juga untuk mengatasi persoalan sampah yang ujung-ujungnya selalu merugikan mereka. Apalagi, menurut Rifqi yang sudah setengah tahun terakhir getol mengakrabi sampah, “Bersihin sampah itu asik, loh!”
Menurut laporan “Statistik Potensi Desa Indonesia” tahun 2021 yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 70,5% desa/kelurahan di Indonesia masih membuang sampah ke dalam lubang atau dibakar. Sementara 6,2% lainnya membuang sampah ke sungai, saluran irigasi, danau, laut atau drainase. Hanya 19,4% desa/kelurahan yang membuang sampah ke tempat sampah untuk kemudian diangkut. [rd/em]
Forum