Dalam konferensi pers virtual hari Kamis, juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menegaskan perjanjian normalisasi hubungan yang telah ditandatangani Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel tidak akan mengubah posisi Indonesia dalam konflik Palestina-Israel.
"Bagi Indonesia, penyelesaian isu Palestina perlu menghormati resolusi DK PBB terkait serta parameter yang disepakati secara internasional, termasuk solusi dua negara. Kita harus pastikan seluruh inisiatif untuk perdamaian tidak menggagalkan keputusan yang telah dibuat melalui Arab Peace Initiatives dan resolusi Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang terkait," kata Faizasyah.
Oleh karena itu, lanjut Faizasyah, saat ini waktunya untuk mempertimbangkan agar inisiatif damai dan perjanjian normalisasi UEA-Israel dan Bahrain-Israel diarahkan pada upaya untuk memulai kembali proses multilateral yang kredibel. Hal itu akan memungkinkan terwujudnya suara yang sama bagi semua pihak dan didasarkan pada parameter-parameter internasional yang telah disepakati.
Menurut Faizasyah, Indonesia memahami kesepakatan normalisasi hubungan yang dilakukan oleh UEA dan Bahrain bertujuan menyediakan ruang bagi Palestina dan Israel untuk berunding dan mengubah pendekatan untuk penyelesaian isu Palestina. Namun dia mengingatkan efektivitas dari kesepakatan kedua negara Arab Teluk itu sangat bergantung pada komitmen Israel untuk menghormatinya.
Pengamat : Perjanjian Baru Ini Menunjukkan Keberpihakan pada Israel Kian Kuat
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi menilai Indonesia tidak terpengaruh oleh kebijakan UEA dan Bahrain yang akhirnya mau menjalin hubungan resmi dengan Israel. Jakarta akan tetap berkomitmen tidak mau mengakui negara Bintang Daud tersebut sebelum Palestina menjadi negara merdeka dan berdaulat.
Melihat negara-negara Arab yang mulai merapat ke Israel, Yon menyarankan pemerintah Indonesia untuk mulai menggalang kembali dukungan dari negara-negara di seluruh dunia yang sejak awal memang sudah mendukung perjuangan Palestina untuk merdeka.
"(Indonesia harus) mencoba untuk juga melakukan pembicaraan dengan negara-negara besar yang belum memberikan dukungan kepada Palestina. Karena petanya sekarang, yang menolak Israel menjadi berkurang, sementara yang mendukung kemerdekaan dan mengakui Palestina sebagai negara belum bertambah," ujar Yon.
Dengan kecenderungan negara-negara Arab yang mulai bersedia menormalisasi hubungan dengan Israel, menurut Yon, boleh jadi menunjukkan keberpihakan terhadap Israel semakin kuat.
Yon menambahkan terjalinnya hubungan resmi negara-negara Arab dengan Israel tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan mengakomodasi kepentingan Palestina. Bahkan dia memprediksi akan makin sedikit negara Arab yang memprotes beragam kebijakan Israel yang merugikan Palestina.
Melihat tren itu, Yon mengakui peluang Palestina untuk merdeka dan berdaulat akan semakin kecil. Apalagi Liga Arab sudah mulai terpecah dalam menyikapi isu Palestina.
Normalisasi Hubungan Terkait dengan Faktor Keamanan
Yon menilai keputusan UEA dan Bahrain untuk menormalisasi hubungan dengan Israel tidak lepas dari kuatnya pengaruh Israel pada negara-negara itu. Rezim berkuasa di negara Arab Teluk, tambahnya, berkepentingan memelihara hegemoni Amerika di kawasan itu agar kekuasaan mereka tetap bertahan.
Faktor keamanan juga menjadi pertimbangan utama bagi UEA dan Bahrain karena mereka memandang ancaman Iran semakin nyata. Kedua negara Arab Teluk itu khawatir pengaruh dan ekspansi Iran akan meluas hingga ke kawasan Arab Teluk.
UEA dan Bahrain juga melihat kerjasama ekonomi dengan Israel dapat memacu pertumbuhan yang melemah akibat pandemi Covid-19 dan anjloknya harga minyak mentah dunia.
Presiden Trump Saksikan Penandatanganan
UEA dan Bahrain Selasa lalu (15/9) menandatangani perjanjian untuk membina hubungan diplomatik dengan Israel. Penandatanganan di Gedung Putih, Washington DC itu disaksikan langsung oleh Presiden Amerika Donald Trump. Trump bahkan menyatakan akan ada lima hingga enam negara Arab lain yang akan mengikuti jejak Uni Emirat Arab dan Bahrain, meski ia tidak merinci negara yang dimaksudnya.
Dengan perjanjian ini berarti Israel kini memiliki hubungan diplomatik resmi dengan empat negara Arab, setelah Mesir pada 1979 dan Yordania di 1994. [fw/em]