Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Namun, dalam konflik-konflik besar yang berpusat di Timur Tengah, Indonesia relatif bebas dari dampaknya. Padahal, konflik itu kental dengan nuansa agamanya, terjadi puluhan tahun, berpindah-pindah dan mengoyak banyak negara seperti Irak, Suriah, Afghanistan, Yaman, hingga Mesir.
Khatib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan pertanyaan mendasar terkait semua itu. “Apa sebenarnya akar masalahnya, sehingga dunia Islam sekarang mengalami kekacauan sedemikian rupa. Kalau kita amati dari Maroko sampai Bangladesh, nyaris tidak ada yang beres,” kata Yahya.
Yahya Cholil Staquf menyampaikan pertanyaan itu ketika berbicara dalam seminar Islam Indonesia di Pentas Global: Inspirasi Damai Nusantara untuk Dunia. Seminar itu diselenggarakan hari Jumat (25/01), di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain Yahya Cholil Staquf, berbicara juga dalam acara ini, Buya Syafii Maarif, Azyumardi Azra, penerima Nobel Ramos Horta, dan Mark Woodward dari Universitas Arizona. Seminar ini diselenggarakan untuk mengupas peran NU dan Muhammadiyah dalam upaya perdamaian dunia.
Yahya mengutip, Islam di Indonesia relatif terpisah dari konflik panjang Islam dan Kristen di Eropa. Pengaruh kekaisaran Turki Utsmani tidak sampai di sini, begitu pun dampak-dampak dari perang itu.
“NU dan Muhammadiyah tidak punya beban sejarah untuk menyabut perubahan peradaban secara lebih positif. Karena Islam Indonesia tidak pernah menjadi bagian dari Turki Utsmani. Karena itu ketika Turki kalah perang, kita tidak menjadi bagian dari kekalahan itu. Waktu itu kita menghadapi Hindia Belanda, dan berhasil merebut kebanggaan sendiri dengan mengalahkan penguasa kolonial,” kata Yahya Cholil Staquf.
Karena kecilnya pengaruh itu, NU dan Muhamadiyah kaya Yahya berhasil mengukuhkan struktur otoritas keagamaannya sendiri. Fatwa keagamaan, baik bagi NU maupun Muhammadiyah tidak perlu dikonsultasikan ke Timur Tengah. Dengan begitu, kedua organisasi itu mampu berperan aktif dalam setiap perubahan sosial, politik dan budaya di Indonesia.
Cendekiawan muslim, Azyumardi Azra mengakui, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini tetap memiliki friksi di tingkat bawah.
“Cuma yang saya bilang, sektarianisme itu tidak menyala-nyala. Walaupun NU dan Muhammadiyah bisa dibedakan di bawah, tetapi tidak ada orang NU dan Muhammadiyah yang berkelahi seperti di Timur Tengah. Sektarianisme itu ada, tetapi relatif rendah. Misalnya orang NU senang tahlilan, Muhammadiyah pada dasarnya tidak. Tetapi tidak ada orang NU menyerang orang Muhammadiyah karena tidak tahlilan,” jelas Azyumardi Azra.
M Najib Azca, dalam kesempatan sebelumnya mengatakan seminar ini adalah bagian dari upaya mempromosikan Islam bagi perdamaian. Najib Azca adalah Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM.
“Diskursus kekerasan sangat menonjol disematkan dengan Islam karena apa yang terjadi di Timur Tengah. Di tengah potret global itu, kita ingin memunculkan wajah lain Islam yang berkarakter demokratis, damai, dan berkeadaban,” kata Najib.
Untuk itulah, peran NU dan Muhammadiyah harus dikemukakan. Sebuah penelitian dilakukan dan hasilnya diterbitkan sebagai buku berjudul “Dua Menyemai Damai: Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam Perdamaian dan Demokrasi”.
Kedua organisasi Islam ini, kata Najib, juga berkontribusi aktif dalam proses pembangunan perdamaian regional dan internasional. “Di tengah konflik dan kekacauan yang melanda dunia, terutama negara-negara Muslim di Timur Tengah, Islam di Indonesia berjalan beriringan bersama pembangunan demokrasi dan perdamaian. Salah satu faktor utamanya adalah peran aktif organisasi-organisasi masyarakat sipil Islam di Indonesia,” lanjut Najib.
Ramos Horta, mantan Presiden Timor Leste sekaligus penerima Nobel Perdamaian tahun 1996 juga mengaku terkesan dengan peran NU dan Muhammadiyah. Dalam strategi menekan gerakan garis keras keagamaan, kata Horta, kedua organisasi ini mengedepankan jalan damai dan pendidikan dalam adu pengaruh pemahaman Islam.
“Pada saat ini, di mana xenophobia, diskriminasi dan kekerasan di seluruh dunia, peran kedua organisasi dalam mempromosikan dialog antar agama, pendidikan untuk toleransi dan perdamaian melalui jaringan mereka yang luas, baik sosial maupun akademik, tidak dapat diabaikan,” jelas Ramos Horta.
Ramos Horta menambahkan, pertempuran melawan kelompok garis keras keagamaan baik itu Islam, Kristen atau Budha tidak bisa dimenangkan dengan cara militer. Ini adalah pertempuran ide dan informasi, kata Horta.
Mewakili negaranya, Ramos Horta juga menyampaikan terima kasih karena Indonesia tidak balas dendam dan meninggalkan Timor Leste ketika perpisahan kedua negara terjadi. Indonesia justru kembali dan menawarkan persahabatan serta rekonsisliasi. Keputusan itu meningkatkan reputasi Indonesia di seluruh dunia, dan Ramos Horta tak segan mengabarkan itu kepada dunia.
Karena itulah, Ramos Horta menyarankan Myanmar untuk belajar dari Indonesia. “NU dan Muhammadiyah bisa memainkan peran sangat penting di Myanmar. Negara yang paling memungkinkan untuk membantu Myanmar adalah Indonesia. Kenapa? Karena Indonesia memiliki pengalaman dalam transisi militer menjadi negara demokrasi yang dinamis. Indonesia juga memiliki konflik kekerasan antaretnis,” tambah Ramos Horta.
Buya Syafii Maarif mengaku, NU dan Muhammadiyah memiliki peran besar dalam menyatukan Indonesia. “Hubungan keduanya semakin membaik, semakin produktif. Visinya sama. Keduanya pembela demokrasi, pembela kemanusiaan. Mempertahankan kekuatan sipil di Indonesia itu yang paling pokok, yang di negara lain tidak ada. Kalau tidak ada Muhammadiyah dan NU mungkin sudah jadi Suriah kita. Karena itu, luar biasa sumbangsihnya,” ujar Buya Syafii.
Mark Woodward dalam paparan singkatnya menyarankan pengembangan kerja sama yang lebih luas, tidak hanya antara NU dan Muhammadiyah. Kedua organisasi itu juga harus bekerja sama dengan organisasi non-muslim untuk mengembangkan perdamaian. Peran keduanya di kancah internasional juga harus ditingkatkan. [ns/lt]