Bukan sekali saja, Atar diminta oleh ibunya untuk bermain bersama kawan-kawannya di luar rumah. Apalagi, sepulang sekolah, anak-anak seumuran Atar ramai beraktifitas di sekitar kompleks perumahan. Tapi, siswa kelas 2 sekolah dasar itu lebih memilih berada di rumah, menghabiskan waktu dengan perangkat permainan elektroniknya.
Atar, anak berumur kurang dari 8 tahun itu berat badannya kini sudah sekitar 50 kg. Menurut ibunya, Lucky Ardiana, Atar memang cenderung tidak pilih-pilih ketika makan, alias menikmati makanan apapun yang tersedia. Namun di sisi yang lain, dia tidak banyak beratifitas fisik. Dorongan orang tuanya untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang membakar kalori, seperti olahraga taekwondo atau renang, hanya dijalani beberapa kali saja. Tidak mengherankan, dia jauh lebih berat dari kakaknya sendiri yang 3 tahun lebih tua.
“Dia selama ini tidak pilih-pilih makanan, apa saja dimakan. Celana dia sekarang memakai ukuran nomor 34, karena lingkar perutnya yang besar. Seragam sekolahnya, kalau kakaknya bisa empat tahun baru ganti, kalau Atar ini baru dua bulan sudah harus ganti, karena dia tambah gede," kata Lucky.
Dokter telah menyatakan Atar masuk dalam kelompok anak-anak obesitas. Selain makan rutin tiga kali sekali, menurut orang tuanya, dokter menyarankan Atar hanya memakan buah sebagai camilan di luar makan utama. Untungnya, sejauh ini Atar tidak memiliki masalah dengan kepercayaan diri, dan tetap bisa bergaul dengan kawan-kawannya. Ibunya juga menilai, Atar cukup bisa bebas beraktifitas dengan ukuran tubuhnya saat ini.
Apa yang terjadi pada Atar adalah fenomena di kalangan anak-anak Indonesia saat ini. Menurut penelitian dr. Emy Huriyati dari Departemen Ilmu Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sekitar 30 persen orang Indonesia kini mengalami obesitas. Di kalangan remaja dan anak-anak, angkanya mencapai 10 persen dari populasi dan dikhawatirkan terus meningkat.
Obesitas terus meningkat, menurut dr. Emy, karena pola konsumsi yang tidak sehat. Di Indonesia, anak-anak dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah keataslah yang mengalami ini, karena kemudahan mengakses berbagai jenis makanan. Orang tua cenderung ingin anaknya banyak makan, dan memilih jenis-jenis makanan berkalori tinggi. Jenis makanan cepat saji juga demikian populer dan digemari anak-anak, termasuk menu-menu yang mengandung gula tinggi. Pada saat bersamaan, anak-anak terutama di perkotaan mulai kekurangan aktivitas fisik, karena meningkatnya hobi bermain games.
“Kalau menurut data kita, sekitar 30 persen obesitas pada kelompok dewasa. Kalau anak-anak dan remaja di penelitian kita itu sepuluh persen yang obesitas. Tetapi, di kelompok remaja ini bukan hanya masalah obesitas, karena tekanan darahnya juga mulai naik. Pada kelompok remaja, siswa-siswa SMA. Karena memang penelitian saya dilakukan terhadap anak-anak SD, SMP dan SMA. Remaja ini sudah mulai bermasalah karena pola hidupnya, tidak seperti kita dulu yang banyak berlari-lari. Sekarang anak-anak kebanyakan bermain gadget," ujar dr. Emy.
Dalam penelitiannya, dr. Emy juga menemukan gejala tekanan darah tinggi pada kalangan remaja, sebagai dampak ikutan dari obesitas, konsumsi garam berlebih, tingkat stres tinggi dan kurangnya aktifitas fisik. Tidak mengherankan apabila kini, berbagai penyakit seperti gula dan jantung sudah ditemukan pada kelompok usia 30-an tahun. Fenomena ini menurut Emy, terjadi karena sebenarnya faktor pemicunya telah dirintis dan ditabung sejak usia anak-anak.
“Kalau di usia anak saja sudah ada kelainan, maka sepuluh atau dua puluh tahun lagi akan terjadi. Dulu yang namanya diabetes itu penderitanya umur 45 atau 50-an, sekarang yang baru 30 sudah banyak ditemukan,” tambahnya.
Indonesia masuk dalam urutan ke-10 sebagai negara dengan jumlah orang obesitas terbanyak di dunia. Meski begitu, menurut dr. Emy, obesitas belum menjadi persoalan kesehatan yang memperoleh perhatian cukup di Indonesia. Padahal, dampaknya pada kesehatan di masa depan akan sangat mengkhawatirkan. [ns/em]