Olimpiade Tokyo resmi ditutup hari Minggu malam (8/8). Olimpiade ini dimulai dengan perebakan luas virus corona dan jeda selama satu tahun. Dan berakhir dengan tiupan angin topan, dan tetap saja: COVID-19.
Olimpiade Tokyo – yang tetap disebut sebagai Olimpiade 2020 tetapi diselenggarakan pada pertengahan tahun 2021 karena perebakan luas virus corona – ditutup di stadion tanpa dihadiri penonton, Minggu malam, mengisyaratkan situasi campuran bagi Jepang dan dunia.
Upacara penutupan yang diiringi genderang dengan tema “Worlds We Share” – suatu gagasan optimistis tetapi ironis – ditetapkan untuk mengarah pada Olimpiade Musim Panas di Paris tahun 2024. Dan dengan itu, pesta olahraga paling aneh dalam sejarah dunia ini, ditutup.
Olimpiade Tokyo dilangsungkan di tengah kembali maraknya perebakan pandemi, ditentang banyak warga Jepang dan selama berbulan-bulan diusik oleh masalah administrasi; yang membuat pesta olahraga ini memiliki tantangan logistik dan medis yang tiada duanya, memicu diskusi serius tentang isu kesehatan mental, dan dalam hal olahraga, menunjukkan kemenangan dan sedikit kekalahan yang mengejutkan.
Awalnya, ekspektasi yang ditetapkan cukup baik, tetapi COVID-19 mengacaukan segalanya. Kantor berita Associated Press melaporkan bahkan Presiden Komite Olimpiade Internasional IOC Thomas Bach mengatakan ia khawatir Olimpiade kali ini akan “menjadi Olimpiade tanpa jiwa.” Meskipun Jumat lalu (6/8) ia mengatakan “apa yang kita lihat di sini benar-benar berbeda.” “Anda dapat mengalami dan merasakan, serta melihat dan mendengar betapa mereka sangat menikmati kebersamaan dalam olimpiade lagi di sini,” ujar Bach.
Dalam pertandingan-pertandingan itu kata “bersama” terasa asing. Para penonton tidak dapat menyaksikan pertandingan dari dekat. Berbagai aturan membuat atlet-atlet harus senantiasa mengenakan masker dan menjaga jarak, bahkan untuk upacara penyerahan medali sekali pun. Tetapi tentunya tak terhindarkan dalam beberapa pertandingan sebagian atlet saling berdekatan. Bukan karena mereka lalai, tetapi karena memang tak terhindarkan. Ada upaya keras untuk mengurangi risiko terpapar COVID-19, meskipun pada saat yang bersamaan acara harus terus berlanjut.
Ketekunan atlet menjadi cerita utama. Kesehatan mental menjadi diskusi serius yang belum pernah terjadi, dan para atlet mengungkapkan kisah dan perjuangan mereka dalam kerentanan dan sesekali cara-cara yang menyiksa.
Olimpiade keempat di Jepang, yang diadakan 57 tahun setelah Olimpiade 1964 yang secara efektif berhasil memperkenalkan kembali negara itu pada dunia pasca kekalahan dalam Perang Dunia Kedua, mewakili dunia yang mencoba bersatu pada saat bersejarah, ketika penyakit dan kondisi yang menyertainya – serta politik – memisahkannya.
Upacara penutupan hari Minggu mencerminkan bahwa kadang-kadang untuk mendorong proses menuju sesuatu, diperlukan pendekatan “science-fiction.” Ketika para atlet berdiri di arena untuk mengikuti upacara penutupan, papan skor digital di kedua ujung stadion menampilkan apa yang disebut penyelenggara sebagai “matriks video penggemar,” suatu layar video berukuran raksasa seperti layar Zoom yang diunggah penonton yang bersorak-sorai di rumah.
Bahkan parade atlet yang membawa bendera nasional mereka ikut terdampak. Sebagian bendera dibawa para relawan karena adanya peraturan yang mengharuskan para atlet segera meninggalkan Tokyo setelah pertandingan mereka selesai.
Tetapi dengan latar belakang yang luar biasa itu pun, ada sejumlah atlet yang mencatat sejarah. Antara lain Yang Qian dari Tiongkok yang merebut medali emas pertama dalam cabang senapan angin 10 meter pada 24 Juli, hingga yang terakhir yaitu atlet Serbia yang mengalahkan Yunani di cabang polo air putra pada Minggu sore.
Sebagian atlet lain yang menjadi sorotan adalah Allyson Felix yang merebut medali ke-11 untuk Amerika dalam lari lintasan. Juga penampilan luar biasa peraih lima medali emas Amerika, Caeleb Dressel, di kolam renang. Dan tentunya para atlet dalam cabang selancar, skateboard, dan olahraga panjat tebing yang merupakan olahraga populer di Olimpiade.
Jepang sebagai tuan rumah secara keseluruhan meraih 58 medali. [em/ka]