Ombudsman menemui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto untuk mengingatkan potensi maladministrasi terkait rencana penempatan perwira TNI di jabatan sipil. Anggota Ombudsman Ninik Rahayu mengatakan, Wiranto setuju untuk mengkaji terlebih dahulu rencana tersebut sebelum diberlakukan. Menurutnya, Menkopolhukam tidak ingin wacana ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
"Kebijakan ini harus diambil bersama-sama antara pemerintah dan DPR. Jadi duduklah rapat untuk menentukan, apakah perlu ada perubahan atau tidak. Jadi tidak mungkin pemerintah sendiri atau panglima yang menentukan. Dan Pak Wiranto menyambut baik untuk dilakukan evaluasi terlebih dahulu. Termasuk melihat kebutuhan, bahkan Pak Wiranto mengisyaratkan kenapa UU TNI dibuat terkait reformasi di tubuh TNI sendiri," jelas Ninik Rahayu di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (26/2).
Ninik menambahkan lembaganya juga akan berdiskusi dengan kementerian pertahanan serta masyarakat sipil lainnya untuk dapat memberikan saran kepada pemerintah agar tidak terjadi maladministrasi dalam kebijakan ini. Ia memperkirakan saran tersebut sudah dapat diberikan ke pemerintah paling lama awal bulan Maret 2019.
"Kami akan menghadirkan berbagai pihak untuk melengkapi informasi dan data, termasuk masukan dari berbagai pihak arah kebijakan ke depan. Apakah merevisi Undang-undang atau mengubah peraturan pemerintahnya. Itu bergantung pada 2 kali pertemuan besok," imbuhnya.
Turut menambahkan, Anggota Ombudsman Adrianus Meliala menuturkan Wiranto meminta agar masyarakat tidak terjebak dalam istilah "Dwi Fungsi ABRI". Sebab menurutnya, kondisi saat ini sudah berubah dengan era orde baru dan TNI memang dibutuhkan untuk mengisi sejumlah jabatan di kementerian lembaga.
Karena itu, kata Adrianus, lembaganya tertantang untuk membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan penempatan TNI aktif di jabatan-jabatan sipil.
"Jadi ada kesan saya dari Pak Wiranto. Itu kita jangan bermain dengan jargon lama, jargon dwi fungsi. Karena kondisi sudah berubah, masyarakat sudah berubah, konstelasi sudah berubah. Maka mungkin kita akan masuk dengan jargon baru, terminologi baru, karena berangkat dari kebutuhan baru," jelas Adrianus Meliala.
Adrianus menambahkan hingga saat ini sudah ada 19 kementerian lembaga yang sudah diisi oleh perwira aktif TNI. Sembilan di antaranya merupakan di luar kementerian lembaga yang diatur dalam UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Kendati demikian, Wiranto enggan mengomentari hasil pertemuan dengan Ombudsman ini.
Menanggapi ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengkritik pemerintah dan ombudsman yang berkutat pada persoalan aturan dan Undang-undang dalam pembahasan penempatan perwira aktif TNI di jabatan sipil.
Menurutnya, persoalan peningkatan personel TNI di jabatan sipil akan merugikan militer dan pemerintahan sipil. Sebab, TNI akan terbebani dengan urusan lain di luar kepentingan pertahanan negara seperti amanat UU TNI. Sehingga fokus utama soal pertahanan akan terpecah. Sementara bagi kementerian lembaga, akan muncul 2 pemimpin, karena pada dasarnya seorang TNI hanya tunduk pada perintah atasan, bukan seorang menteri atau kepala lembaga.
"Perdebatan umumnya cenderung berputar di seputar Undang-undang. Sebenarnya Undang-undang itu bukan yang lebih utama. Dia harus merujuk kepada latar belakang sejarah betapa bahanya pelibatan perwira militer aktif di dalam posisi-posisi sipil," jelas Usman Hamid kepada VOA.
Di samping itu, peningkatan perwira aktif TNI di jabatan sipil juga akan menghambat karir dari Aparatur Sipil Negara yang berprestasi dalam kementerian lembaga. Sebab, dengan kebijakan tersebut, jabatan-jabatan sipil akan diisi secara otomatis oleh perwira TNI. (sm/em)