PADANG SIDEMPUAN —
Berasal dari tempat-tempat yang terpencil, banyak warga datang ke kota di Sumatera Utara ini setelah melalui perjalanan satu malam dengan kapal dan duduk berjam-berjam di dalam mobil atau bus. Mereka datang dengan harapan bahwa prosedur operasi yang sederhana dan tanpa biaya di kota ini dapat mengembalikan penglihatan mereka.
Banyak pasien tersebut berusia lanjut dan memerlukan pertolongan untuk mencapai dua rumah sakit di Padang Sidempuan dan Medan di mana operasi mata massal dilaksanakan awal bulan ini oleh dokter bedah asal Nepal, Sanduk Ruit. Selama delapan hari, lebih dari 1.400 mata berkatarak diobati.
Pasien-pasien menginap, tidur berdampingan di tenda militer, makan makanan sumbangan sementara truk pemadam kebakaran menyuplai air untuk mandi dan toilet. Banyak yang telah hilang harapan untuk bisa melihat lagi meninggalkan tempat tersebut sambil tersenyum setelah perban yang menutupi mata mereka dibuka.
“Saya sudah buta selama tiga tahun, dan rasanya parah,” ujar Arlita Tobing, 65, yang pulih penglihatannya setelah operasi. “Tadinya saya bekerja di perkebunan milik orang lain, tapi setelah itu tidak bisa bekerja lagi.”
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kebutaan tertinggi, membuatnya menjadi target bagi Ruit yang berkeliling ke negara-negara berkembang dan mendirikan tenda mata massal sambil melatih dokter melakukan prosedur sederhana tanpa jahitan yang ia pelopori. Ia seringkali berkunjung ke daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau, dimana layanan kesehatan sangat minim dan para warganya miskin. Ia yakin dengan mengajari dokter melakukan metode penghilangan katarak yang ia pelopori, angka kebutaan di dunia dapat berkurang.
Katarak merupakan sebab utama kebutaan di dunia, diderita oleh sekitar 20 juta orang yang sebagian besar tinggal di negara-negara miskin, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Kita hanya hidup satu kali, dan waktunya sangat singkat. Saya bersyukur pada Tuhan mendapatkan kesempatan ini,” ujar Ruit, yang mengelola Pusat Mata Tilganga di Katmandu, Nepal.
“Hal yang terpenting dari ini semua adalah pelatihan, membagi ide ini pada orang lain.”
Pada kamp-kamp baru-baru ini, Ruit melatih enam dokter dari Indonesia, Thailand dan Singapura. (AP/Binsar Bakkara)
Banyak pasien tersebut berusia lanjut dan memerlukan pertolongan untuk mencapai dua rumah sakit di Padang Sidempuan dan Medan di mana operasi mata massal dilaksanakan awal bulan ini oleh dokter bedah asal Nepal, Sanduk Ruit. Selama delapan hari, lebih dari 1.400 mata berkatarak diobati.
Pasien-pasien menginap, tidur berdampingan di tenda militer, makan makanan sumbangan sementara truk pemadam kebakaran menyuplai air untuk mandi dan toilet. Banyak yang telah hilang harapan untuk bisa melihat lagi meninggalkan tempat tersebut sambil tersenyum setelah perban yang menutupi mata mereka dibuka.
“Saya sudah buta selama tiga tahun, dan rasanya parah,” ujar Arlita Tobing, 65, yang pulih penglihatannya setelah operasi. “Tadinya saya bekerja di perkebunan milik orang lain, tapi setelah itu tidak bisa bekerja lagi.”
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kebutaan tertinggi, membuatnya menjadi target bagi Ruit yang berkeliling ke negara-negara berkembang dan mendirikan tenda mata massal sambil melatih dokter melakukan prosedur sederhana tanpa jahitan yang ia pelopori. Ia seringkali berkunjung ke daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau, dimana layanan kesehatan sangat minim dan para warganya miskin. Ia yakin dengan mengajari dokter melakukan metode penghilangan katarak yang ia pelopori, angka kebutaan di dunia dapat berkurang.
Katarak merupakan sebab utama kebutaan di dunia, diderita oleh sekitar 20 juta orang yang sebagian besar tinggal di negara-negara miskin, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Kita hanya hidup satu kali, dan waktunya sangat singkat. Saya bersyukur pada Tuhan mendapatkan kesempatan ini,” ujar Ruit, yang mengelola Pusat Mata Tilganga di Katmandu, Nepal.
“Hal yang terpenting dari ini semua adalah pelatihan, membagi ide ini pada orang lain.”
Pada kamp-kamp baru-baru ini, Ruit melatih enam dokter dari Indonesia, Thailand dan Singapura. (AP/Binsar Bakkara)