Kehati-hatian organisasi-organisasi HAM ini bukan karena meragukan reformasi yang terjadi di sana, tetapi para analis mengatakan masih ada keprihatinan serius tentang reformasi legislatif dan hak atas tanah.
Pencabutan sanksi-sanksi perdagangan itu, diumumkan Rabu oleh Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, adalah menyusul langkah-langkah awal melonggarkan sanksi di sektor keuangan. Hal ini diumumkan pada saat kunjungan resmi presiden Burma, Thein Sein ke Amerika.
Aung San Suu Kyi - juga mengunjungi Amerika - menyatakan dukungannya pada pelonggaran itu, mengatakan Burma tidak lagi harus bergantung pada tekanan luar untuk menuju demokrasi.
Para pejabat Amerika telah mengatakan mereka ingin melihat manfaat nyata dari proses reformasi yang berlangsung saat ini.
Sean Turnell, associate profesor ekonomi di Universitas Macquarie Australia, mengatakan masih diperlukan waktu sebelum pencabutan sanksi diberlakukan.
"Itu adalah sanksi ekonomi besar terakhir terhadap Burma. Namun, pencabutannya tidak segera dapat diwujudkan sebab larangan impor barang Burma ke Amerika adalah berdasarkan Undang-Undang Kongres bukan keputusan presiden sehingga presiden bisa mencabutnya. Jadi untuk mencabutnya sepenuhnya diperlukan pemungutan suara di Kongres Amerika. Dan ini tidak akan terjadi sebelum pemilihan di Amerika,” papar Turnell.
Washington sebelumnya membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan Amerika dan "lembaga-lembaga swasta" untuk menyediakan jasa keuangan dan berinvestasi di Birma - juga dikenal sebagai Myanmar.
Perusahaan-perusahaan besar Amerika seperti Coca-Cola dan Pepsi Co, telah mengindikasikan bahwa mereka berencana untuk berinvestasi di Burma.
Negara ini telah dibanjiri oleh gelombang investor asing dengan diperingannya sanksi internasional. Tiongkok adalah investor terbesar dengan US$13 miliar investasi di Burma, diikuti oleh Thailand dengan US$9 miliar. Jepang juga diyakini berencana untuk memperkuat investasinya.
Phil Robertson, Deputi Direktur Asia untuk Human Rights Watch, mengatakan perhatian utama untuk saat ini adalah masalah penguasaan tanah.
Jaringan Alternatif ASEAN mengatakan reformasi legislatif selanjutnya harus sudah siap untuk mendukung hak kepemilikan kelompok minoritas dan individu serta perlindungan hak-hak buruh.
Kekhawatiran lainnya terletak pada korupsi dan peraturan yang tidak memadai. Pada tahun 2011, Burma menempati peringkat 180 untuk negara yang bersih korupsi berdasarkan daftar Transparency International.
Ekonom Asian Development Bank (ADB), Cyn-Young Park, mengatakan ekonomi perlu lebih direformasi, termasuk kerangka peraturan dan penguatan sumber daya manusia dan pendidikan.
Park mengatakan pemerintah Burma "bekerja sangat keras" untuk mengatasi masalah ini untuk menarik investasi asing langsung. ADB mengatakan, jika Burma dapat mempertahankan reformasi - termasuk perubahan ekonomi - pertumbuhan bisa mencapai delapan persen dan meningkatkan pendapatan per kapita tiga kali pada tahun 2030.
Pencabutan sanksi-sanksi perdagangan itu, diumumkan Rabu oleh Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, adalah menyusul langkah-langkah awal melonggarkan sanksi di sektor keuangan. Hal ini diumumkan pada saat kunjungan resmi presiden Burma, Thein Sein ke Amerika.
Aung San Suu Kyi - juga mengunjungi Amerika - menyatakan dukungannya pada pelonggaran itu, mengatakan Burma tidak lagi harus bergantung pada tekanan luar untuk menuju demokrasi.
Para pejabat Amerika telah mengatakan mereka ingin melihat manfaat nyata dari proses reformasi yang berlangsung saat ini.
Sean Turnell, associate profesor ekonomi di Universitas Macquarie Australia, mengatakan masih diperlukan waktu sebelum pencabutan sanksi diberlakukan.
"Itu adalah sanksi ekonomi besar terakhir terhadap Burma. Namun, pencabutannya tidak segera dapat diwujudkan sebab larangan impor barang Burma ke Amerika adalah berdasarkan Undang-Undang Kongres bukan keputusan presiden sehingga presiden bisa mencabutnya. Jadi untuk mencabutnya sepenuhnya diperlukan pemungutan suara di Kongres Amerika. Dan ini tidak akan terjadi sebelum pemilihan di Amerika,” papar Turnell.
Washington sebelumnya membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan Amerika dan "lembaga-lembaga swasta" untuk menyediakan jasa keuangan dan berinvestasi di Birma - juga dikenal sebagai Myanmar.
Perusahaan-perusahaan besar Amerika seperti Coca-Cola dan Pepsi Co, telah mengindikasikan bahwa mereka berencana untuk berinvestasi di Burma.
Negara ini telah dibanjiri oleh gelombang investor asing dengan diperingannya sanksi internasional. Tiongkok adalah investor terbesar dengan US$13 miliar investasi di Burma, diikuti oleh Thailand dengan US$9 miliar. Jepang juga diyakini berencana untuk memperkuat investasinya.
Phil Robertson, Deputi Direktur Asia untuk Human Rights Watch, mengatakan perhatian utama untuk saat ini adalah masalah penguasaan tanah.
Jaringan Alternatif ASEAN mengatakan reformasi legislatif selanjutnya harus sudah siap untuk mendukung hak kepemilikan kelompok minoritas dan individu serta perlindungan hak-hak buruh.
Kekhawatiran lainnya terletak pada korupsi dan peraturan yang tidak memadai. Pada tahun 2011, Burma menempati peringkat 180 untuk negara yang bersih korupsi berdasarkan daftar Transparency International.
Ekonom Asian Development Bank (ADB), Cyn-Young Park, mengatakan ekonomi perlu lebih direformasi, termasuk kerangka peraturan dan penguatan sumber daya manusia dan pendidikan.
Park mengatakan pemerintah Burma "bekerja sangat keras" untuk mengatasi masalah ini untuk menarik investasi asing langsung. ADB mengatakan, jika Burma dapat mempertahankan reformasi - termasuk perubahan ekonomi - pertumbuhan bisa mencapai delapan persen dan meningkatkan pendapatan per kapita tiga kali pada tahun 2030.