Tautan-tautan Akses

Organisasi Sipil dan Profesi Kesehatan Desak Pengesahan RPP Pengamanan Zat Adiktif


Seorang pemuda memegang rokok yang menyala di sebuah taman di Jakarta. (Foto: AFP/Romeo Gacad)
Seorang pemuda memegang rokok yang menyala di sebuah taman di Jakarta. (Foto: AFP/Romeo Gacad)

Organisasi masyarakat sipil dan organisasi profesi kesehatan mendesak Presiden Joko Widodo segera mengesahkan aturan Rancangan Peraturan Pemerintah terkait Pengamanan Zat Adiktif sebagai turunan Undang-Undang Kesehatan 2023 sebelum 8 Agustus 2024.

Organisasi masyarakat sipil dan organisasi profesi kesehatan mendesak Presiden Joko Widodo segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Pengamanan Zat Adiktif. Desakan itu mencuat karena situasi penggunaan zat tersebut, seperti rokok, di Tanah Air telah mencapai taraf darurat.

RPP itu sendiri merupakan produk turunan dari UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang disahkan pada 8 Agustus.

Ketua Komnas Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany, mengungkapkan bahwa biaya pengobatan penyakit terkait rokok seperti jantung dan kanker mencapai Rp17 triliun pada 2023, termasuk biaya pengobatan kanker yang melebihi Rp4 triliun. Kondisi ini diprediksi akan terus berlanjut jika peredaran rokok tidak dikendalikan.

Puntung rokok memenuhi wadah rokok di luar gedung federal di Washington, Kamis, 15 April 2021.(Foto: AP)
Puntung rokok memenuhi wadah rokok di luar gedung federal di Washington, Kamis, 15 April 2021.(Foto: AP)

“Oleh karena itu, kita telah mengajukan berbagai inovasi-inovasi, mulai dari jangan ada iklan-iklan rokok, jangan biarkan anak-anak membeli rokok, harganya harus ditingkatkan terus supaya affordability (keterjangkauan-red)-nya makin turun, Dan ini harus diatur dalam peraturan pemerintah,” kata Hasbullah Thabrany dalam Konferensi Pers Organisasi Masyarakat Sipil Desak Presiden RI Segera Sahkan RPP Kesehatan dengan Pengamanan Zat Adiktif yang Kuat, Selasa (14/5)

Hasbullah menyatakan bahwa untuk melakukan inovasi dalam pengendalian rokok, diperlukan regulasi yang tegas dari pemerintah terkait pengamanan zat adiktif. Pemerintah dinilai lamban dalam menyusun regulasi turunan dari UU tersebut, meskipun regulasi induk sudah berlaku hampir setahun.

Sementara itu Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Sally Aman Nasution menyampaikan kekhawatirannya mengenai laporan mengenai prevalensi perokok anak yang terus meningkat. Ia berpendapat hal tersebut dapat dibendung salah satunya melalui regulasi turunan.

“Jangan sampai nanti apa yang pernah diprediksi, kalau tidak salah oleh Bappenas bahwa prevalensi perokok anak itu akan terus naik sampai 2030. Ini kan sebenarnya banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah ini terjadi, tapi perlu payung hukum yang kuat. Jadi RPP ini sangat penting sekali perannya,” kata Sally.

Menurut dokumen Peta Jalan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Indonesia Menuju 2030 yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kebiasaan merokok di Indonesia dimulai pada usia yang sangat muda, sekitar 12-13 tahun, terutama di kalangan laki-laki. Tanpa komitmen yang kuat untuk mengendalikan kebiasaan ini, prevalensi merokok pada remaja diproyeksikan akan terus meningkat hingga mencapai 16 persen pada 2030.

Konsumsi rokok mencapai 12 persen dari total rata-rata pengeluaran rumah tangga di Indonesia. Pengeluaran untuk rokok bahkan lebih tinggi dari pengeluaran untuk sayuran dan daging/ikan. Proporsi tersebut juga lebih tinggi di area pedesaan daripada area perkotaan.

Seorang pria memegang rokok elektronik di Toko Vape di Monterrey, Meksiko, 1 Februari 2019. (Foto: Reuters)
Seorang pria memegang rokok elektronik di Toko Vape di Monterrey, Meksiko, 1 Februari 2019. (Foto: Reuters)

Pengendalian Rokok Elektronik

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto, pengesahan RPP Pengamanan Zat Adiktif bersifat mendesak karena banyak bermunculan kasus penyakit paru dan pernafasan, terutama akibat rokok elektronik.

“Nah ini berbagai bahan ada dalam rokok elektronik itu ternyata mengandung bahan-bahan berbahaya dari cairannya dan sebagian itu menyebabkan terjadinya kanker atau karsinogen, kemudian juga merangsang terjadinya peradangan atau inflamasi yang berpotensi menyebabkan penyakit jantung, pembuluh darah, dan juga penyakit asma, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik-red), dan risiko infeksi,” papar Agus.

Agus menyatakan bahwa prevalensi perokok elektronik di kalangan dewasa di Indonesia, yang berusia di atas 15 tahun, mencapai 3 persen. Angka ini meningkat sepuluh kali lipat dari 2011 hingga 2021, atau dalam rentang waktu sepuluh tahun.

Sementara itu, prevalensi perokok elektronik di kalangan remaja, dengan rentang usia 10-18 tahun, mencapai 10,9 persen. Angka ini meningkat hampir sepuluh kali lipat dalam periode 2016-2018.

“Maraknya kasus-kasus pengguna rokok elektronik ini harus menjadi perhatian. Regulasi terkait rokok elektronik ini juga harus diatur termasuk di dalam RPP tentang kesehatan karena regulasi tentang rokok elektronik ini belum ada sehingga sekarang ini dijual bebas, siapa saja bisa beli, mudah, bahkan anak-anak remaja. Tentu kita tidak mau mereka nanti menjadi korban, menimbulkan dampak kesehatan,” kata Agus. [yl/ah]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG