Memperingati Hari Pers Internasional, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta menyelenggarakan pameran lukisan abstrak karya pelukis dan aktivis Andreas Iswinarto yang terinspirasi oleh perjuangan almarhum aktivis Wiji Thukul, Senin (8/5) hingga Kamis (11/5) serta diskusi tentang kemerdekaan pers.
Namun, ketika lukisan dan poster berukuran kertas A3 dan A4 itu selesai dipajang, Senin siang (8/5) sekelompok orang dengan atribut ormas Pemuda Pancasila datang dan memaksa diskusi dan pameran dibubarkan.
Menurut Guntur Narwaya, staf PUSHAM UII, kelompok yang datang memaksa menghentikan pameran itu juga melakukan penganiayaan ringan kepadanya dan kepada Andreas.
“Masuk pintu gerbang itu rombongan saya salami dan mereka bilang 'kami pemuda Pancasila’. Mereka menanyakan ijin acara. Saya bilang ini acara internal tetapi mereka memaksa membubarkan. Salah satu dari mereka juga mengatakan bahwa Wiji Thukul itu komunis/PKI trus saya biang Wiji Thukul itu enggak trus dia nggak terima. Trus bilang 'saya NKRI' dan tetap memaksa mencopot...,”kata Guntur Narwaya.
Andreas Iswinarto sendiri mengaku heran dengan pemaksaan dan pelarangan oleh kelompok Pemuda Pancasila itu.
“Sebenarnya kan agak aneh ketika filmnya (tentang Wiji Thukul) di Twenty-one dapat dukungan, bukunya diterbitkan oleh Gramedia secara utuh, liputan Majalan Tempo juga diterbitkan. Saya kira ini preseden bahwa Wiji Thukul dijadikan sasaran tembak, karena ketika Pemuda Pancasila itu datang juga menanyakan 'mana Wiji Thukul, kalau ada ini kita bubarkan'. Intinya, mereka sebenarnya tidak paham. WIji Thukul sebenarnya bercerita tentang apa yang dialami buruh miskin, kaum tani, dan juga kritik keras terhadap rezim otoriter saat itu," jelas Andreas Iswinarto.
Dengan memajang sekitar 30-an lukisan dan poster dengan media kertas dan krayon itu, Andreas ingin berbagi tentang membaca situasi Indonesia saat ini dan mengingatkan bahwa WIji Thukul masih hilang.
“Selain ingin membagikan cerita tentang Indonesia hari ini, saya sebenarnya juga mengingatkan bahwa penghilangan paksa ini menjadi persoalan yang tidak ada titik terangnya. Wiji Thukul menjadi salah satu dari 13 orang yang tidak diketahui keberadaannya,” lanjut Andreas.
Eko Riyadi, Direktur PUSHAM UII yang melaporkan insiden pemaksaan ke polisi, menilai tindakan sekelompok orang yang memaksa menghentikan pameran adalah merusak iklim demokrasi dan menciptakan rasa takut.
“Ini kan sebenarnya bagian dari kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat yang diatur di semua instrumen hukum nasional maupun internasional. Yang paling bahaya itu karena merusak iklim demokrasi. Diskusi yang akademik bahkan dilakukan di institusi perguruan tinggi pun diperlakukan seperti itu. Saya khawatir nanti diskusi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat miskin, kelompok marjinal yang tidak terdampingi dengan baik akan mudah dipaksa merasa takut oleh mereka,” kata Eko Riyadi.
Meski dipaksa untuk dihentikan, akhirnya pameran tetap berlangsung dan ditutup hari Kamis sore (11/5) dengan diskusi tentang kemerdekaan pers. Kesimpulan diskusi antara lain: wartawan dan insan pers di Asia Tenggara termasuk Indonesia, Thailand, Filipina dan Myanmar masih belum merdeka dalam menjalankan tugasnya. [ms/lt]