Opera “X: The Life and Times of Malcolm X” menampilkan babak-babak kehidupan Malcolm X, seorang aktivis HAM muslim kulit hitam paling berpengaruh di AS pada abad ke-20. Opera tersebut memberikan gambaran perjalanan hidup Malcolm mulai dari masa kecilnya sebagai Malcolm Little, kematian sang ayah, partisipasinya dalam kelompok nasionalis kulit hitam Nation of Islam, hingga pembunuhan tokoh itu pada 1965.
Pertama kali dipentaskan pada tahun 1980-an dan menuai ulasan positif, Opera X kembali “dihidupkan” sejak 3 November lalu di Metropolitan Opera (Met), New York, melalui arahan sutradara peraih nominasi Tony Awards Robert O’Hara, komposer pemenang Pulitzer Prize Anthony Davis, dan penulis skenario Thulani Davis.
“Alasan saya memilih opera ini adalah karena, bagi saya, Malcolm adalah pahlawan bernasib tragis. Ketika dia akhirnya menyadari siapa dirinya, benar-benar memahami apa yang dia lakukan dan perannya yang dapat memberikan kontribusi besar ke dunia, dia dibunuh oleh kelompoknya sendiri,” ujar Anthony.
Alih-alih biografi biasa, Opera X dikemas dalam konsep “Afrofuturisme”—sebuah konsep yang mengangkat unsur seni, budaya, dan sejarah diaspora Afrika, dan mengaitkannya dengan sains atau teknologi. Konsep tersebut diwujudkan dalam bentuk properti panggung berupa pesawat luar angkasa raksasa yang juga menampilkan cuplikan foto-foto asli Malcolm, serta kostum para anggota paduan suara yang memadukan konsep pra-kolonial dengan sci-fi atau fiksi ilmiah.
Dilansir dari situs Met Opera, opera itu dibagi ke dalam 12 latar peristiwa, diantaranya saat Malcolm mengalami era The Great Depression, alias krisis Depresi Besar, di Michigan, masa remajanya di Boston, saat dirinya melakukan perjalanan haji ke Mekah, dan beragam latar lainnya di New York, seperti masjid, jalan di Harlem, serta lokasi ia dibunuh di Audubon Ballroom.
Opera X dibintangi oleh sejumlah aktor dan penyanyi opera, termasuk Will Liverman yang bersuara bariton sebagai Malcolm, serta Leah Hawkins yang bersuara soprano dan memerankan dua karakter sekaligus—sebagai ibu Malcolm, Louise Little, dan istrinya, Betty Shabazz.
Para penggagas dan pemain Opera X membawa satu misi besar: edukasi. Leah melihat masih banyak orang-orang di sekitarnya yang belum mengetahui kisah Malcolm.
“Ada orang-orang yang mengabaikan sejarah (tentang Malcolm) karena mereka sekadar mendengar soal siapa dirinya dan apa yang dia representasikan. Untuk itu, kami juga ingin memberi edukasi tentang transformasi kehidupannya,” kata Leah.
Ia juga ingin pementasan yang menampilkan orang-orang kulit hitam menjadi sesuatu yang biasa; bukan lagi menjadi acara spesial. Hal itu mulai terlihat di dunia panggung klasik, termasuk Met, kata Leah. Dalam beberapa tahun terakhir, Met memproduksi opera-opera yang lebih kontemporer dan beragam, termasuk opera Fire Shut Up in My Bones (2021) dan Champion (2023).
Menurut Anthony Davis, misi edukasi sangatlah penting di AS, di tengah menjamurnya penyebaran misinformasi, aksi boikot buku, serta pelarangan kurikulum tertentu di sekolah-sekolah.
“(Kisah Malcolm X) adalah bagian dari sejarah Amerika yang tidak banyak diceritakan. Saat ini, ada politisi-politisi yang ingin menindas, membungkam, dan menghapus sejarah. Saya pikir penting bagi orang-orang untuk melihat dan memahami cerita-cerita seperti ini,” jelas Anthony.
Opera “X: The Life and Times of Malcolm X” akan dipentaskan di Met Opera hingga awal Desember 2023. Opera itu juga akan disiarkan di bioskop-bioskop di seluruh AS dan platform layanan streaming. [br/ab]
Forum