Meskipun kasus hepatitis akut di Tanah Air sedang mengalami peningkatan, epidemiolog Univesitas Gadjah Mada, Dr Riris Andono Ahmad menyakini bahwa penyakit tersebut tidak akan menjadi wabah, sebagaimana halnya COVID-19.
“Tingkat infeksiusnya tidak setinggi COVID, jadi kemungkinan ini akan menjadi wabah yang meningkat secara cepat, itu tidak akan terjadi. Meskipun kita perlu hati-hati karena sampai saat ini kita belum tahu mekanisme transmisinya,” ujar Riris dalam diskusi terkait hepatitis akut misterius, yang diselenggarakan Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA), Sabtu (14/5).
Meski kecil kemungkinan menjadi wabah, Riris menegaskan penyakit ini tetap harus diwaspadai karena bisa berdampak buruk hingga kematian, terutama pada anak-anak. Ia mengimbau masyarakat untuk mencegah penularan hepatitis akut tersebut dengan menjaga kebersihan tangan, memakai masker dan menjaga jarak. Penyakit tersebut, menurut Riris, harus disikapi sebagaimana mencegah penularan penyakit infeksi menyusul adanya dugaan penyakit itu terjadi menular pada anak-anak melalui mekanisme percikan.
Penyebab Belum Diketahui
Terkait penyebabnya, kata Riris, WHO dan para pakar sampai saat ini masih pada taraf hipotesis. Dugaan pertama adalah adanya infeksi adenovirus.
Adenovirus adalah kelompok virus yang dapat menyebabkan infeksi pada mata, usus, paru, dan saluran nafas. Ada sekitar 40 jenis virus yang masuk dalam kelompok ini.
“Karena sebagian besar dari kasus yang ada ditemukan di Inggris dan beberapa negara Eropa itu mempunyai adenovirus,” kata Riris memberi alasan.
Namun, di sisi lain hepatitis akut memberikan dampak infeksi yang cukup parah. Padahal adenovirus biasanya hanya berdampak ringan, bahkan bisa sembuh dengan sendirinya.
“Jadi, mungkin ada penyebab lain. Dan penyebab lain ini bisa mungkin karakteristik individual atau yang lain. Itu yang masih dicari,” tambahnya.
Hipotesis kerja yang lain adalah kemungkinan adanya varian baru adenovirus, disebut sebagai varian sub tipe 41, yang ditemukan di sebagian dari kasus. Ada juga kemungkinan karena paparan obat, racun atau paparan lingkungan yang lain.
“Sama seperti ketika kita COVID muncul, kita sampai berapa lama tidak bisa mendeteksinya. Kemudian salah satu hipotesis kerjanya, ini adalah varian baru dari SAR-CoV 2, tetapi ini juga sesuatu yang belum bisa dikonfirmasi. Jadi sampai saat ini, belum ada satupun yang bisa dinyatakan merupakan penyebab dari hepatitis yang ditemukan,” tambah Riris.
Konsentrasi ke Pencegahan
Senada dengan Riris, dr. Nenny Sri Mulyani, MD, SpA(K), dokter anak konsultan gastrohepatologi juga memastikan penyebab hepatitis akut belum diketahui.
“PAHO, Pan American Health Organization dan WHO membuat suatu technical note sebagai lanjutan dari apa yang dilaporkan oleh Skotlandia, bahwa kita masih fokus pada penelitian epidemiologi, laboratorinya, klinikal dan farmasinya, yang saat ini masih dianggap terlalu sedikit hasilnya, sehingga belum bisa mengidentifikasi etiologinya,” ujar Nenny.
Dokter anak memang memiliki perhatian besar terhadap kasus-kasus ini, karena hepatitis akut tercatat diderita anak di bawah usia 16 tahun. Nenny, yang juga anggota Pokja Hepatitis Pimpinan Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) berharap, para ahli segera menemukan jawaban persoalan ini.
“Harapannya memang di minggu-minggu ini, kita sudah bisa tahu sehingga kita bisa membuat suatu panduan, bagaimana untuk mencegah secara benar, kemudian tata laksananya, action control-nya seperti apa,” ujarnya.
Penting bagi Indonesia juga untuk segera mengetahui penyebab penyakit ini, sehingga mengerti situasinya. Dengan begitu, pemerintah bisa mengambil kebijakan penanganan secara lebih baik.
Di luar itu, konsentrasi masyarakat saat ini sebaiknya pada pencegahan. Karena selama ini hepatitis dikenal menular melalui oral, maka tindakan pencegahan paling baik adalah menghindari kemungkinan transmisi ludah dari orang lain.
Baru Satu Kasus Probable
Dalam diskusi yang sama, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kemenkes, Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu menyebut hingga 13 Mei, Indonesia mencatatkan 17 kasus yang dicurigai sebagai hepatitis akut.
“Sejak ditemukan di RS Cipto Mangunkusumo, tiga kasus pada 27 April, per 13 Mei kemarin sudah dilaporkan di sistem kami, ada 32 kasus. Namun, dari 32 kasus itu 15 orang dikeluarkan karena tidak memenuhi definsi operasional WHO, terutama untuk umurnya, lebih dari 16 tahun,” ujar Maxi.
Dari 17 kasus yang ada, baru satu kasus yang dinyatakan probable sesuai panduan WHO. Dalam pemeriksaan lebih lanjut, tujuh kasus dikeluarkan dari daftar karena diketahui penyebabnya berbeda. Dari sisa sepuluh kasus, saat ini statusnya adalah satu probable dan sembilan pending. Status pending bermakna menunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut.
Menurut catatan Kemenkes, hampir semua kasus mengalami gejala berupa mual, nafsu makan hilang, demam, muntah, kemudian pada tahap berikut terjadi perubahan warna feses, urin berwarna seperti teh dan gatal di kulit, diare akut serta sesak nafas.
Kemenkes telah menyusun pedoman penanganan untuk mencegah bertambahnya kasus. Seluruh fasilitas kesehatan diminta memantau dan melaporkan kasus-kasus dengan sindrom jaundis ke dalam sistem yang sudah disediakan Kemenkes.
“Ada enam provinsi yang sindrom jaundice akut ini trennya meningkat dalam 2-3 minggu terakhir, dan karena itu kita pantau mingguan,” tambah Maxi.
Sindrom jaundice adalah kondisi di mana semburat kekuningan muncul pada kulit, selaput lendir, dan bagian putih mata. Masyarakat secara umum mengenalnya sebagai penyakit kuning. Enam provinsi dengan sindrom jaundice tinggi saat ini adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kepualauan Riau dan Sumatera Barat. Maxi mengatakan, 76 persen sindrom jaundice ada di Jawa Tengah dan karena itu kerja sama dilakukan sepenuhnya dengan dinas kesehatan setempat.
Hepatitis Umum Ditemukan
Hepatitis adalah penyakit yang umum ditemukan, dan pada periode tertentu menjadi wabah di satu kawasan. Riris Andono Ahmar menyebut, di Yogyakarta ada siklus lima tahunan dimana kasus hepatitis meningkat. Penelitian menunjukkan, siklus lima tahunan ini terkait dengan pergantian populasi mahasiswa, karena Yogyakarta merupakan kota pendidikan dengan mahasiswa dari seluruh Indonesia.
“Ketika ada penggantian mahasiswa baru dari seluruh Indonesia dan sirkulasi hepatitis masih sering terjadi, maka akan ada outbreak. Karena sebagian mungkin belum punya kekebalan dan tidak punya vaksinasl hepatitis,” kata Riris.
Wakil Rektor UGM, Paripurna Poerwoko Sugarda juga mengonfirmasi kondisi ini. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, kata Paripurna, universitas tersebut melakukan penelitian yang menemukan fakta bahwa sekitar 30 persen kegagalan lulusan UGM melamar pekerjaan adalah karena gagal lolos tes kesehatan.
“Dan setelah ditelisik lagi, penyebab dari tidak lolosnya tes kesehatan adalah karena gejala hepatitis C dan hepatitis A. UGM melakukan sosialisasi produksi makanan, tempat kos, dan semua warung di sekitar kampus, dan masalah ini bisa teratasi,” lanjut Paripurna. [ns/ah]