Selain itu, kebiasaan mengubah makanan di Asia membutuhkan impor pangan yang lebih besar dan meningkatkan kekhawatiran atas kerentanan pangan di masa depan.
Di seluruh dunia ada peningkatan fokus pada tantangan untuk menghasilkan cukup pangan karena populasi global diperkirakan akan mencapai sembilan miliar pada tahun 2050. Para ilmuwan mengatakan produksi pangan harus meningkat 70 persen untuk memenuhi kebutuhan itu.
Walaupun kemarau di Amerika dan India telah menaikkan harga beberapa komoditas, secara keseluruhan Organisasi Makanan dan Pertanian PBB mengatakan persediaan makanan yang pokok masih cukup.
Tapi Center for Low Carbon Futures, sebuah jaringan universitas yang berbasis di Inggris, mengatakan dalam laporan barunya bahwa dalam waktu 10 tahun sebagian besar Asia mungkin menghadapi kekeringan parah yang panjang . Terutama yang akan terkena adalah Tiongkok bagian utara, India, Afghanistan, Mongolia, dan Pakistan. Bagian lain di Asia kemungkinan ditimpa iklim muson yang panjang dan basah.
Ancaman perubahan iklim global datang tatkala hasil panen padi dan gandum di Asia menurun, kata Profesor Paul Teng dari Universitas Teknologi Nanyang di Singapura.
"Dengan hitungan sederhana saja sudah bisa diketahui bahwa kita tidak akan dapat memenuhi angka tersebut kecuali dilakukan investasi yang signifikan untuk meningkatkan produktivitas di bawah skenario lahan yang ada saat ini, atau kecuali tersedia lebih banyak lahan baru untuk pertanian atau kita berhenti menggunakan ruang perkotaan dan menggunakannya untuk pertanian," kata Paul.
Asia mengimpor hampir 70 persen kedelai dunia dari Amerika Utara dan Amerika Latin dan sekitar 40 persen jagung yang sebagian besar untuk pakan ternak.
Di Amerika, harga jagung telah melonjak ke tingkat tertinggi akibat kemarau parah dalam 50 tahun terakhir di mana hampir 90 persen dari tanaman jagung Amerika dihasilkan di daerah yang dilanda kekeringan. Teng mengatakan kekeringan di Amerika dan dampaknya pada harga pangan harus menjadi peringatan bagi Asia Pasifik.
Manejer komunikasi perusahaan teknologi pertanian internasional, Syngenta, Andrew McConville, mengatakan kurangnya investasi baru dan aksesibilitas terhadap teknologi yang memungkinkan petani untuk meningkatkan produktivitas telah membawa dampak.
"Dampak langsung dari kurangnya investasi tidak selalu tampak. Namun seiring waktu itu akan memiliki dampak kumulatif dan pada titik tertentu kita harus memikul akibatnya. Kita akan melihat akibatnya datang bersamaan, disamping semakin tingginya harga-harga. Kita akan seperti kedatangan badai dari berbagai faktor untuk menunjukkan tantangan yang dihadapi pertanian," kata Andrew.
Beberapa negara, seperti Indonesia, Kamboja dan Tiongkok, menangani masalah ini dengan membuka lahan pertanian baru. Di Birma, McConville mengatakan reformasi ekonomi yang positif dapat membantu meningkatkan produksi padi.
Di seluruh dunia ada peningkatan fokus pada tantangan untuk menghasilkan cukup pangan karena populasi global diperkirakan akan mencapai sembilan miliar pada tahun 2050. Para ilmuwan mengatakan produksi pangan harus meningkat 70 persen untuk memenuhi kebutuhan itu.
Walaupun kemarau di Amerika dan India telah menaikkan harga beberapa komoditas, secara keseluruhan Organisasi Makanan dan Pertanian PBB mengatakan persediaan makanan yang pokok masih cukup.
Tapi Center for Low Carbon Futures, sebuah jaringan universitas yang berbasis di Inggris, mengatakan dalam laporan barunya bahwa dalam waktu 10 tahun sebagian besar Asia mungkin menghadapi kekeringan parah yang panjang . Terutama yang akan terkena adalah Tiongkok bagian utara, India, Afghanistan, Mongolia, dan Pakistan. Bagian lain di Asia kemungkinan ditimpa iklim muson yang panjang dan basah.
Ancaman perubahan iklim global datang tatkala hasil panen padi dan gandum di Asia menurun, kata Profesor Paul Teng dari Universitas Teknologi Nanyang di Singapura.
"Dengan hitungan sederhana saja sudah bisa diketahui bahwa kita tidak akan dapat memenuhi angka tersebut kecuali dilakukan investasi yang signifikan untuk meningkatkan produktivitas di bawah skenario lahan yang ada saat ini, atau kecuali tersedia lebih banyak lahan baru untuk pertanian atau kita berhenti menggunakan ruang perkotaan dan menggunakannya untuk pertanian," kata Paul.
Asia mengimpor hampir 70 persen kedelai dunia dari Amerika Utara dan Amerika Latin dan sekitar 40 persen jagung yang sebagian besar untuk pakan ternak.
Di Amerika, harga jagung telah melonjak ke tingkat tertinggi akibat kemarau parah dalam 50 tahun terakhir di mana hampir 90 persen dari tanaman jagung Amerika dihasilkan di daerah yang dilanda kekeringan. Teng mengatakan kekeringan di Amerika dan dampaknya pada harga pangan harus menjadi peringatan bagi Asia Pasifik.
Manejer komunikasi perusahaan teknologi pertanian internasional, Syngenta, Andrew McConville, mengatakan kurangnya investasi baru dan aksesibilitas terhadap teknologi yang memungkinkan petani untuk meningkatkan produktivitas telah membawa dampak.
"Dampak langsung dari kurangnya investasi tidak selalu tampak. Namun seiring waktu itu akan memiliki dampak kumulatif dan pada titik tertentu kita harus memikul akibatnya. Kita akan melihat akibatnya datang bersamaan, disamping semakin tingginya harga-harga. Kita akan seperti kedatangan badai dari berbagai faktor untuk menunjukkan tantangan yang dihadapi pertanian," kata Andrew.
Beberapa negara, seperti Indonesia, Kamboja dan Tiongkok, menangani masalah ini dengan membuka lahan pertanian baru. Di Birma, McConville mengatakan reformasi ekonomi yang positif dapat membantu meningkatkan produksi padi.