Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan butuh pihak eksternal untuk mereformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) agar menjadi penegak hukum yang lebih baik. Campur tangan pihak internal maupun aktor yang memiliki kedekatan dan kepentingan dengan Polri dinilai harus dihindari dalam proses tersebut.
“Proses reformasi Polri tersebut bisa saja melibatkan masyarakat sipil untuk menjadi penyeimbang antara Polri dengan aktor-aktor politik,” ujar Bivitri Susanti dalam diskusi "Urgensi Reformasi Polri", Kamis (29/9/2022).
Pada kesempatan itu, ia juga menegaskan reformasi Polri harus dilakukan berdasarkan masalah nyata di Korps Bhayangkara tersebut. Masalah-masalah itu antara lain kekerasan terhadap aktivis, kekerasan seksual dan korupsi. Sebab, kata dia, tanpa dasar tersebut maka reformasi Polri hanya akan berujung pada pencitraan.
"Karena kalau persepsi yang dijadikan dasar, maka ujungnya adalah pencitraan. Karena tujuannya memperbaiki persepsi publik, bukan masalah nyata," jelas Bivitri.
Ia menambahkan salah satu agenda reformasi yang dapat dibahas adalah evaluasi wewenang Polri. Menurutnya, Polri sebaiknya fokus pada penjagaan keamanan dalam negeri dan penegakan hukum. Sedangkan untuk urusan administratif bisa dikeluarkan dari kewenangan Polri.
Selain itu, Bivitri juga mengusulkan dilakukannya evaluasi terhadap sistem pengawasan Polri, yaitu dengan mengevaluasi keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan sistem penegakan kode etik Polri.
Senada dengan Bivitri, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Nicky Fahrizal mengatakan terdapat persoalan kekerasan dan korupsi di tubuh Polri sehingga perlu direformasi. Menurutnya, terdapat tiga aspek reformasi Polri, yaitu instutisional, instrumental, dan kultural.
Reformasi institusional dapat dilakukan dengan cara menguatkan pengawasan internal dan eksternal Polri. Kemudian instrumental adalah dengan mendiskusikan kembali Pasal 14 ayat 1 dan Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Polri yang memberi amanat besar kepada kepolisian tanpa pengawasan yang kuat.
"Dampaknya adalah tuntutan beradaptasi yang tinggi bagi Polri di lingkungan strategis. Contohnya pembentukan Satgasus Merah Putih," jelas Nicky Fahrizal.
Aspek terakhir, kata Nicky, yaitu kultural dengan merumuskan kembali profil anggota Polri, penguatan kemampuan kerja, dan intelektual anggota Polri.
Muradi: Reformasi Polri Tidak Perlu
Guru Besar Universitas Padjajaran Muradi mengatakan reformasi Polri tidak perlu dilakukan kembali. Ia beralasan institusi Polri telah melakukan rencana reformasi yang disusun tahun 1999 dan selesai pada 2015. Menurutnya, persoalan yang ada sekarang, seperti Ferdy Sambo, terbilang isu kecil yang hanya mengganggu institusi.
"Saya harus obyektif juga, bahwa dari proses sudah dijalankan. Bahwa ada yang tidak nyaman dan ada faksi-faksi yang dominan di internal Polri. Ini sama dengan di TNI atau institusi lain," jelas Muradi.
Muradi mencatat setidaknya terdapat lima kasus yang melibatkan lima pejabat tinggi Polri setelah reformasi 1998, antara lain Letter of Credit (LC) fiktif BNI (2005), dana pengamanan Pilkada Jabar (2008), simulator SIM (2012), kasus Djoko Tjandra (2021), dan pembunuhan Brigadir J (2022). Menurutnya, lima kasus tersebut telah diproses secara hukum oleh Polri. [sm/ah]
Forum