Pandemi virus corona berdampak luas dan dalam pada industri pariwisata di seluruh dunia karena anjloknya permintaan dari wisatawan domestik maupun mancanegara. Drastisnya penurunan permintaan ini disebabkan oleh pemberlakuan berbagai pembatasan perjalanan oleh banyak negara yang berusaha membendung penyebaran dan penularan virus yang bisa berakibat fatal itu. Indonesia, sebagai salah satu negara pilihan tujuan wisata juga tidak luput dari imbas ini.
Sama seperti yang terjadi di seluruh dunia, Indonesia menanggung imbas dari merosotnya industri pariwisata akibat pandemi virus corona. Dampak itu telah dialami oleh para pelaku UMKM industri jasa pariwisata.
Muhammad Boe Harto adalah penduduk Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur yang berbisnis sebagai penyelenggara sekaligus pemandu wisata. Kepada VOA dia mengatakan bahwa dampak pandemi virus corona pada industri pariwisata di daerahnya sangat dirasakan, terutama di Labuan Bajo yang selama ini menjadi “pangkalan” untuk semua kegiatan pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo.
“(Dampaknya) sangat luar biasa terutama karena ini di luar dugaan, karena (pandemi) tiba-tiba datang dan semua destinasi wisata tutup. Saya dan teman-teman yang sudah menerima banyak booking-an (pesanan) bahkan sejak tahun lalu, tapi karena wabah corona, tamu-tamu kita yang sudah melakukan pesanan mulai membatalkan trip, bahkan sepanjang tahun ini. Tentu bukan saya saja yang mengalami ini, tapi juga begitu banyak kawan lain di Labuan Bajo.”
Muhammad Boe Harto sangat berharap bahwa dengan dibukanya kembali kawasan wisata Taman Nasional Komodo dengan berbagai protokol new normal, kegiatan pariwisata di daerahnya bisa bangkit kembali walaupun kemungkinan tidak bisa secerah dan semarak seperti masa sebelum pandemi.
Harapan yang sama juga disampaikan oleh Aan Ainul, pemilik usaha kecil Aan Tour and Travel di Surabaya, yang sebelum masa pandemi usahanya cukup disibukkan dengan pesanan wisata ke berbagai destinasi di Jawa Timur, utamanya Gunung Bromo. Kepada VOA dia mengatakan, “untuk wisata saat ini mati sudah lima bulan. Dia berharap, “mudah-mudahan pemerintah juga memperhatikan nasib mereka yang bekerja di bidang pariwisata, terutama mereka yang dari kalangan menengah ke bawah yang sekarang sudah banyak berganti profesi apa saja untuk bertahan hidup.”
“Untuk masa pandemi ini, kondisi yang kami alami cukup parah karena memang total tutup semua, tidak ada wisata satupun yang dibuka, baik di pantai, baik di tempat wisata alam seperti di Gunung Bromo, Kawah Ijen di Banyuwangi. Semuanya ditutup,” jelasnya.
Aan Ainul menambahkan, “teman-teman di tempat-tempat tujuan wisata yang menggantungkan mata pencaharian dari kegiatan wisata, dari penginapan, angkutan, guide, restoran semuanya menangis, menjerit.”
Sementara itu, Catharina Puspita Sari (Ita) yang tinggal di Yogyakarta bekerja di sebuah agen perjalanan besar. Kepada VOA, dia mengatakan perusahaan tempatnya bekerja mengalami “nol transaksi” sehingga menerapkan “contingency plan” untuk bertahan dengan dana cadangan sampai akhir tahun.
“Beruntung, di agen kami masih bertahan, sementara di agen perjalan online lain banyak PHK,” jelas Ita.
“Seperti yang bisa dibayangkan, bisnis travel anjlok ke angka minimum. Travel agent online maupun offline sudah memprediksikan bahwa mereka akan menghadapi zero transaction. Para pelaku bisnis pun mengatur rencana ini menjadi model bertahan sampai akhir tahun sambil terus mengikuti perkembangan arahan pemerintah. Seiring dengan pelonggaran yang diberikan dalam beraktivitas yang diberikan oleh pemerintah, sejak Juni lalu transaksi di bidang perjalanan mulai kembali naik. Kami bersyukur tapi tidak overexcited (terlalu cepat bersemangat) karena situasi masih labil dan recovery (pemulihan) di bidang pariwisata masih akan memerlukan waktu,” imbuhnya
Ita menambahkan, pada masa new normal (kelaziman baru) ini harapannya adalah orang-orang dapat segera kembali melakukan perjalanan. “Namun, fokus utamanya adalah pelaku bisnis perjalanan harus memberikan keyakinan bahwa protokol kesehatan adalah prioritas utama. Ini adalah agar kita tidak lupa bahwa ini semua belum berakhir, dan bahwa semua orang memiliki tanggung jawab untuk menjaga risiko penyebaran (virus corona) tetap berada di level yang rendah.”
Pemerintah Indonesia mengakui bahwa pandemi Covid-19 telah mengakibatkan sektor pariwisata lumpuh. Meskipun demikian, Kepala Staf Kepresidenan menegaskan pada acara webinar baru-baru ini bahwa “pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah penting agar sektor pariwisata bisa bangkit kembali.” Dia bahkan menyatakan optimisme Presiden Joko Widodo akan prospek pulihnya industri andalan ini. “Presiden memperkirakan tahun depan terjadi booming di sektor pariwisata sehingga industri pariwisata dan ekonomi kreatif harus siap,” komentarnya.
World Tourism Organization (UNWTO) atau “Organisasi Pariwisata Dunia” di bawah PBB, memperkirakan industri mancanegara secara global kemungkinan turun hingga 30 persen sepanjang tahun 2020, dan penurunan itu berpotensi kerugian hingga 50 miliar dolar. Bahkan, menurut perkiraan itu, di banyak kota di dunia hingga 90 persen perjalanan yang telah direncanakan akhirnya dibatalkan, terutama karena tempat-tempat tujuan wisata seperti museum, taman hiburan, tempat olah raga, taman margasatwa, pantai dan bahkan taman nasional ditutup.
Amerika yang selama ini sangat populer sebagai tujuan wisatawan dari seluruh penjuru dunia pun tidak terhindar dari keterpurukan kegiatan pariwisata selama pandemi. Walaupun kini telah ada pelonggaran pada berbagai pembatasan, jumlah kasus virus corona terkonfirmasi masih meningkat dan di beberapa negara bagian yang kurvanya telah melandai kini kembali menjadi pusat perebakan.
Hingga Senin (12/7) jumlah kasus virus corona di Amerika hampir 3,3 juta dengan sekitar 137 ribu kematian, menurut Johns Hopkins University. Tidak heran, arus kedatangan turis mancanegara pun seakan mandek dan arus wisatawan domestik juga terhenti karena bepergian hanya berisiko meningkatkan kemungkinan terinfeksi dan menyebarkan virus corona, sementara tinggal di rumah adalah cara terbaik untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari virus itu.
Industri pariwisata yang tidak bergerak berimbas secara besar-besaran pada berbagai sektor pendukungnya. Dengan kegiatan pariwisata yang tidak bergerak, banyak penerbangan dibatalkan serta secara tajam mengurangi perjalanan domestik maupun internasional. Keadaan demikian mendorong bisnis di seluruh sektor perjalanan dan wisata, termasuk jasa transportasi, penginapan, hiburan, dan restoran, terpukul keras.
Dalam keadaan normal di Amerika, industri pariwisata yang padat karya itu, misalnya pada tahun 2018, menurut Kongres Amerika menyumbang hampir tiga persen produk domestik bruto. Kini, karena dalam keadaan terpuruk, para pelaku bisnis sektor ini beramai-ramai meminta bantuan keuangan dari pemerintah. [lt/ab]