Di wilayah tertentu, pandemi Covid-19 menimbulkan dampak lebih besar, khususnya bagi perempuan; terlebih jika mereka korban bencana dan konflik. Berbagai laporan mengenai kondisi itu didiskusikan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, Jumat (13/11) siang.
Dewi Rana Amir, dari Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan, menyusun laporan dari Sulawesi Tengah, terutama Palu, Sigi dan Donggala, yang dua tahun lalu mengalami bencana gempa, tsunami dan likuefaksi. Salah satunya, adalah kasus bunuh diri seorang perempun yang sedang hamil.
“Minggu lalu, kami juga sempat syok, karena ini ibu hamil tujuh bulan dan dia memiliki satu orang anak yang masih berumur dua tahun. Dia ini istri kedua, hanya berselisih sedikit dengan suaminya, yang pergi ke laut kemudian di rumah dia bunuh diri, dia gantung diri." kata Dewi.
"Saya kemudian mendatangi tetangganya, kenapa sampai bunuh diri. Tapi tetangganya bilang, kita mengalami tekanan mental dan psikologis yang cukup kuat,” lanjutnya.
Perempuan Pengungsi Palu dan Konflik
Tentu itu bukan satu-satunya kasus di kawasan bencana. Dewi mencatat juga sejumlah kasus “lebih ringan” lain, seperti perpindahan tempat tinggal. Para perempuan korban likuifaksi dari Petobo, Jogo Oge dan Pombewe menghadapi beban tradisi karena ari-ari anak mereka telah ditanam di rumah lama. Pindah rumah, dengan lingkungan dan tetangga baru, tidak selamanya mudah.
Perpindahan itu juga menimbulkan konflik dengan warga asli di wilayah baru, di mana para perempuan ini merasakan adanya perbedaan layanan pemerintah di tingkat bawah, antara warga asli dan pengungsi. Konflik juga merambah ke pendirian tempat ibadah, karena perbedaan agama mayoritas pengungsi dan warga asli, meski sudah diselesaikan Dewi dan aktivis perempuan lain di sana.
Pandemi juga membuat perempuan pengungsi, yang selama ini bisa bekerja di industri bawang goreng atau buruh cuci kehilangan pekerjaan, begitupun sebagian suami mereka. Laporan-laporan di tempat pengungsian menyatakan, pertengkaran keluarga adalah kebiasaan baru. Mereka bahkan menyebutnya sebagai konflik "Tom and Jerry", dua tokoh kartun yang selalu digambarkan bemusuhan dan bertengkar setiap hari.
Dewi juga mengaku sempat syok mendengar penuturan seorang perempuan yang ingin menyerahkan anaknya sendiri untuk diadopsi.
“Kemarin ini kita mendapatkan keluhan di kota Palu, dia bilang begini, saya sudah kebal kalau dipukuli suami, tapi saya tidak tahan karena tidak mampu memberi makan anak. Pandemi ini sungguh berat sekali, kalau bisa anak saya diadopsi saja,” kata Dewi menirukan ucapan perempuan pengungsi yang ditemuinya.
Perempuan ini, lanjut Dewi, ditinggalkan oleh suaminya dan harus mengasuh dua anak berusia lebih dari satu tahun dan bayi tujuh bulan. Sejumlah guru dari wilayah pegunungan juga melaporkan kepada Dewi, peningkatan kawin anak cukup signifikan beberapa waktu terakhir. Bulan ini saja seorang guru melaporkan ada tujuh hingga delapan siswi perempuannya yang akan menikah, di satu sisi mereka tidak berkegiatan, dan di sisi lain kawasan itu tidak memiliki signal internet sehingga pembelajaran jarak jauh juga tidak berjalan.
“Informasi-informasi ini kami bicarakan secara serius dengan dinas-dinas terkait, karena tentu saja tidak bisa dibiarkan ini terjadi. Anak-anak SMP ini umurnya baru 12 tahun dan 13 tahun dan saya kira itu harus dicegah,” tambah Dewi.
Tiga Peristiwa Traumatis di Aceh
Suraiya Kamaruzzaman, Presidium Balai Syura Ureung Ining, Aceh, mengambil contoh kisah hidup perempuan bernama Rasyidah untuk menggambarkan apa yang terjadi. Secara umum, perempuan dewasa di Aceh mengalami tiga peristiwa besar dalam hidupnya saat ini, yaitu periode konflik bersenjata, bencana gempa dan tsunami 2004 serta pandemi Covid-19 tahun ini.
Dalam konflik bersenjata, Rasyidah adalah seorang penyintas yang suaminya meninggal karena ditembak orang tidak dikenal. Dia juga terlindas truk militer sehingga kakinya tidak berfungsi sempurna sampai saat ini.
“Waktu tsunami, anak perempuan satu-satunya hilang dibawa tsunami. Seluruh anggota keluarganya, ibu, bapak, kakak, adik hilang. Rumahnya juga hilang. Saat ini usia beliau 66 tahun, jadi termasuk kelompok rentan, secara ekonomi terdampak, tetapi dari hasil wawancara yang kita lakukan, beliau baru dapat bantuan satu karung beras saja,” kata Suraiya.
Pandemi berdampak lebih besar bagi Rasyidah, karena dia masih merasakan beban konflik dan bencana tsunami lebih 15 tahun lalu. Namun, kemampuan Rasyidah bertahan dari dua peristiwa tragis dalam hidupnya itu, membuat dia memiliki kemampuan lebih untuk menghadapi krisis saat ini. Rasyida melepaskan beban tragedi dengan aktif berbagi kasih sayang kepada siapa saja, dan berperan dalam kampanye protokol kesehatan di tingkat warga.
Bagaimana Bertahan
Ada ribuan perempuan Aceh yang memiliki pengalaman serupa Rasyidah, tetapi tidak semua mampu bersikap dan bertahan dengan kekuatan yang sama.
Suraiya mengurai sejumlah peristiwa kekerasan selama pandemi yang menimpa perempuan di Aceh, yang beritanya di media massa telah menarik perhatian publik. Beban itu bertambah berat, karena saat ini perempuan di Aceh menjadi garda utama dalam semua aktivitas keluarga, mengingat kuatnya budaya patriarki.
“Ini mengingatkan saya kepada situasi konflik dulu, di mana pada situasi terancam dan laki-laki pergi baik karena bergabung dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka -red) atau alasan keamanan. Perempuan yang mengambil alih seluruh proses kehidupan. Hari ini, dalam konteks yang berbeda, lagi-lagi perempuan ada di depan,” papar Suraiya.
Selain kekerasan, perempuan Aceh di sebagian daerah juga harus berjuang menghadapi pandemi serta banjir secara yang terjadi bersamaan. Lagi-lagi perempuan memiliki beban besar, karena di pengungsian mereka yang mengurus segala kebutuhan, seperti air bersih, sementara sumber pendapatan mereka hilang.
Di sisi lain, tambah Suraiya, karena dana terserap dalam penanganan pandemi, semua daerah di Aceh memotong anggaran untuk layanan advokasi kebijakan dan dukungan mengatasi dampak pandemi yang responsif gender.
Lebih buruk lagi, dalam rangkaian peringatan 15 tahun MOU Helsinki yang membawa perdamaian di Aceh, tidak ada satu pun agenda yang memberi tempat bagi perempuan untuk berbicara. Khususnya, bagaimana perempuan Aceh selama 15 tahun ini tetap harus berjuang demi hak-haknya.
Dampak Pandemi bagi Kombatan Perempuan
Peneliti PSKP UGM,Dr Arifah Rahmawati secara khusus memotret pandemi di mata para perempuan yang dikenal sebagai Inong Balee. Mereka adalah perempuan kombatan konflik bersenjata Aceh yang berlangsung sebelum MOU Helsinki ditandatangani. Namun, Inong Balee memiliki sejarah panjang, sebagai tentara perang yang dibentuk Laksamana Malahayati untuk melawan Portugis pada tahun 1600-an.
“Setelah perjanjian damai, pasukan Inong Balee berinisiatif membentuk institusi atau organisasi untuk memberdayakan diri mereka sendiri. Ada dua yang saya ketahui yang pertama yang disebut sebagai Pasukan Inong Balee, saat ini dia ada di 12 kabupaten di provinsi Aceh dan fokus anggotanya hanya bekas kombatan perempuan,” papar Arifah.
Kelompok kedua, lanjut Arifah, adalah apa yang disebut sebagai Komite Inong Balee. Organisasi ini tidak murni beranggotakan mantan kombatan perempuan, tetapi ada juga perempuan korban konflik, keluarga GAM dan lainnya.
Di kelompok ini, kata Arifah, ada ketidakpercayaan yang sangat kuat terhadap pemerintah, baik di daerah maupun pusat. Termasuk dalam soal terkait pandemi Covid-19 saat ini. Pandemi tidak menjadi ancaman bagi mereka, karena yang termasuk ancaman bagi perempuan ini adalah kekerasan.
Ada juga celah pengetahuan diantara perempuan Aceh sendiri, yang sebagian sangat percaya bahwa Covid-19 berbahaya, tapi sebagian lagi justru menganggap virus itu tidak ada. Mantan kombatan juga memiliki akses yang berbeda secara ekonomi, dan ini juga mempengaruhi kemampuan mereka bertahan di tengah pandemi. Yang jelas, secara umum pandemi ini mempersulit pemulihan ekonomi perempuan bekas kombatan.
“Negara perlu membuat kebijakan yang berbasis realitas di lapangan. Perlunya ruang bagi suara, sudut pandang, dan kebutuhan perempuan bekas kombatan. Satu hal yang saya temukan di perempuan Aceh adalah adanya trauma konflik, dan itu belum pernah disinggung. Tidak ada klausul trauma healing, baik di MOU Helsinki maupun kebijakan pemerintah,”ujar Arifah. [ns/em]