Topan Winston yang dahsyat melanda Fiji, negara pulau di Samudera Pasifik, pada bulan Februari, menewaskan 44 orang dan menyebabkan kerugian sekitar $ 1 miliar.
"Frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrim seperti Winston meningkat. Dan kita semua perlu khawatir mengenai apa artinya ini, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang," kata Perdana Menteri Fiji Josaia Bainimarama.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon telah lama mendesak para pemimpin agar mengambil tindakan untuk melawan perubahan iklim. "Itulah satu-satunya cara kita menyelamatkan planet Bumi, yang hanya ada satu ini," ujarnya.
Desember lalu di Paris, para pemimpin membereskan rincian kesepakatan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat Celsius.
Kesepakatan ini juga memaparkan peta jalan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi dampak pemanasan. Langkah itu termasuk bergerak menuju energi terbarukan, seperti tenaga angin dan tenaga surya.
Di New York pada hari Jumat ini, para pemimpin dari 130 negara akan mengambil langkah pertama menuju pelaksanaan komitmen mereka dengan menandatangani perjanjian itu. Masing-masing pemerintah kemudian harus meratifikasinya.
"Agar Perjanjian Paris berjalan sepenuhnya, perjanjian itu harus melewati dua ambang penting. Pertama, setidaknya 55 negara peserta Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim harus meratifikasi perjanjian tersebut; dan ke-55 negara itu atau lebihharus merepresentasikan 55 persen emisi gas rumah kaca global," kata Selwin Hart.
Kunci pelaksanaannya adalah China dan Amerika Serikat - yang bersama-sama menyumbang sekitar 40 persen emisi dunia. Keduanya telah mendesak pemberlakukan kesepakatan yang lebih dini. Targetnya adalah tahun 2020, tetapi jika negara-negara meratifikasi dengan cepat, target itu bisa tercapai tahun ini atau awal 2017. [as/lt]