JAKARTA —
Dalam diskusi di Gedung MPR DPR di Jakarta, Senin (17/2), terkait 30 persen keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan untuk menjadi anggota DPR, Wakil Ketua MPR, Melani Leimana Suharli mengatakan dukungan terhadap caleg perempuan untuk lolos menjadi anggota DPR pada Pemilu tahun ini harus lebih meningkat dibanding Pemilu-Pemilu sebelumnya. Keberadaan perempuan di parlemen, menurut Melani Leimana Suharli, untuk memfasilitasi kebutuhan kaum perempuan dalam berbagai hal.
“Inilah masyarakat mungkin yang harus diberi pendidikan politik juga dimana caleg-caleg perempuan agar bisa berkomunikasi dengan masyarakat supaya mereka memilih perempuan. Tentunya kalau dibilang untuk apa banyak perempuan di parlemen, lebih membuat budgeting yang pro gender kemudian dibidang pengawasan harus yang lebih peka, kemudian juga tentunya untuk membuat undang-undang terutama kesehatan,” kata Melani Leimana Suharli.
Menurut pengamat perempuan dari Universitas Indonesia, Ani Sucipto, tiga hal yang harus dibenahi bagi caleg perempuan diantaranya mampu bertarung. “Kita inginnya itu caleg perempuan ini ketika hadir di partai, ketika hadir di parlemen menjadi petarung, dia bisa punya gagasan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan yang selama ini tidak menjadi prioritas kita," kata Ani Sucipto.
"Yang kedua, kita ingin caleg perempuan ini punya basis sosial bukan datang tiba-tiba, mereka tidak tahu siapa basis pemilihnya, basis constituentnya. Mereka tidak tahu apa isu yang menjadi perhatian, menjadi prioritas, cuma pasang poster, strategi berkampanyenya bagaimana dia nggak tahu, dia nggak punya. Yang ketiga, caleg perempuan ini punya network dan jejaring. Kalau dia tidak membangun network, tidak berjejaring, bagaimana dia mau memenangkan pertarungan," lanjutnya.
Ani Sucipto berharap seluruh partai mencalonkan kader perempuan terbaik di partainya, agar jika lolos nantinya tidak melakukan korupsi seperti dilakukan beberapa perempuan anggota DPR periode 2009-2014.
Pada kesempatan sama, peneliti dari Lembaga Survei Indonesia atau LSI, Adjie Alfarabi menjelaskan, dukungan terhadap perempuan berpolitik terus meningkat. Dukungan tersebut menurutnya diantaranya karena perempuan dinilai tidak mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
“Seberapa jauh penerimaan publik terhadap kebijakan-kebijakan seperti ini, dilihat dari data sebetulnya hampir diatas 60 persen publik setuju tentang kebijakan kuota perempuan dalam politik. Kalau dibanding tahun 2004, 2005 itu angkanya masih dibawah 50 persen," kata Adjie Alfarabi.
"Yang kedua adalah persepsi tentang kemampuan politik, selama ini memang katanya dunia politik identik dengan dunia laki-laki, namun kalau kita liat data sebetulnya sekarang yang mempersepsikan bahwa laki-laki dan perempuan punya kemampuan yang sama dalam politik sudah diatas 60 persen," lanjutnya.
Menurut Adjie Alfarabi, yang ketiga adalah persepsi soal anti korupsi. Kurang lebih 48 persen publik menilai anggota DPR perempuan itu lebih anti korupsi dibanding laki-laki. Dan hal tersebut dianggap lebih punya kemampuan untuk menahan dari penyimpangan-penyimpangan ketika bekuasa.
“Inilah masyarakat mungkin yang harus diberi pendidikan politik juga dimana caleg-caleg perempuan agar bisa berkomunikasi dengan masyarakat supaya mereka memilih perempuan. Tentunya kalau dibilang untuk apa banyak perempuan di parlemen, lebih membuat budgeting yang pro gender kemudian dibidang pengawasan harus yang lebih peka, kemudian juga tentunya untuk membuat undang-undang terutama kesehatan,” kata Melani Leimana Suharli.
Menurut pengamat perempuan dari Universitas Indonesia, Ani Sucipto, tiga hal yang harus dibenahi bagi caleg perempuan diantaranya mampu bertarung. “Kita inginnya itu caleg perempuan ini ketika hadir di partai, ketika hadir di parlemen menjadi petarung, dia bisa punya gagasan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan yang selama ini tidak menjadi prioritas kita," kata Ani Sucipto.
"Yang kedua, kita ingin caleg perempuan ini punya basis sosial bukan datang tiba-tiba, mereka tidak tahu siapa basis pemilihnya, basis constituentnya. Mereka tidak tahu apa isu yang menjadi perhatian, menjadi prioritas, cuma pasang poster, strategi berkampanyenya bagaimana dia nggak tahu, dia nggak punya. Yang ketiga, caleg perempuan ini punya network dan jejaring. Kalau dia tidak membangun network, tidak berjejaring, bagaimana dia mau memenangkan pertarungan," lanjutnya.
Ani Sucipto berharap seluruh partai mencalonkan kader perempuan terbaik di partainya, agar jika lolos nantinya tidak melakukan korupsi seperti dilakukan beberapa perempuan anggota DPR periode 2009-2014.
Pada kesempatan sama, peneliti dari Lembaga Survei Indonesia atau LSI, Adjie Alfarabi menjelaskan, dukungan terhadap perempuan berpolitik terus meningkat. Dukungan tersebut menurutnya diantaranya karena perempuan dinilai tidak mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
“Seberapa jauh penerimaan publik terhadap kebijakan-kebijakan seperti ini, dilihat dari data sebetulnya hampir diatas 60 persen publik setuju tentang kebijakan kuota perempuan dalam politik. Kalau dibanding tahun 2004, 2005 itu angkanya masih dibawah 50 persen," kata Adjie Alfarabi.
"Yang kedua adalah persepsi tentang kemampuan politik, selama ini memang katanya dunia politik identik dengan dunia laki-laki, namun kalau kita liat data sebetulnya sekarang yang mempersepsikan bahwa laki-laki dan perempuan punya kemampuan yang sama dalam politik sudah diatas 60 persen," lanjutnya.
Menurut Adjie Alfarabi, yang ketiga adalah persepsi soal anti korupsi. Kurang lebih 48 persen publik menilai anggota DPR perempuan itu lebih anti korupsi dibanding laki-laki. Dan hal tersebut dianggap lebih punya kemampuan untuk menahan dari penyimpangan-penyimpangan ketika bekuasa.