Pasukan Amerika diserang ketika sedang mengevakuasi ribuan warga Amerika dan warga Afghanistan yang rentan keluar dari ibu kota Kabul. Evakuasi ini dilakukan pasca berkuasanya kembali Taliban di Afghanistan dan seiring penarikan mundur pasukan Amerika dari negara itu, pasca perang selama hampir 20 tahun setelah Kongres memberi wewenang pada Gedung Putih untuk melancarkan perang di Afghanistan.
Kewenangan serupa juga diterapkan dalam konflik di Irak, yang meluas hingga keterlibatan pasukan Amerika di Suriah hingga Yaman, dan terakhir serangan tehradap Jendral Iran Qassem Soleimani.
Ketua Komite DPR urusan Hubungan Luar Negeri Gregory Meeks mengatakan, “Selama lebih dari 20 tahun, dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain menafsir dan menafsir ulang kembali teks resolusi itu, menggunakannya di negara-negara baru untuk melawan sebuah daftar yang semakin panjang dari kelompok-kelompok teror yang dinilai saling terhubung. Proses ini telah menghilangkan tanggungjawab mendasar Kongeres untuk memutuskan masalah perang dan damai.”
Berdasarkan Konstitusi Amerika, Kongres memiliki wewenang untuk menyatakan perang, tetapi pada tahun 2001 dan 2002 Kewenangan Penggunaan Kekuatan Militer yang diberikan pada presiden memberinya kekuasaan yang lebih luas untuk terlibat di luar negeri.
Anggota DPR dari faksi Demokrat Jim McGovern mengatakan, “Presiden semakin bertindak sendiri dan hanya memberitahu Kongres sedikit hal tentang tindakan militer yang diambil. Presiden dan kuasa hukum mereka menjadikan otorisasi penggunaan kekuatan yang sudah berumur 20 tahun itu untuk menjustifikasi tindakan-tindakan mereka. Jika kita tidak melakukan apa-apa, maka kita jangan terkejut dengan hasilnya.”
Awal tahun ini, sebelum evakuasi di bandara Kabul, Gedung Putih mengisyaratkan akan bersedia bekerjasama dengan Kongres untuk mencabut kewenangan itu dengan kerangka kerja yang lebih sempit.
Pakar hukum Rebecca Ingber di Cardozo School of Law mengatakan, “Mereka harus memasukkan konsekuensi kongkret seperti pemotongan anggaran dengan kurun waktu singkat, di mana ada pemberitahuan pada presiden dan pejabat-pejabat di cabang eksekutif lain bahwa jika mereka tidak mendapat dukungan Kongres atas tindakan mereka maka pendanaan itu ada masa kedaluarsa.”
Upaya-upaya sebelumnya untuk mencabut kewenangan ini telah ditentang oleh presiden-presiden dari kedua partai politik, dan juga kecaman faksi Republik bahwa hal itu akan menghambat tanggapan Amerika terhadap ancaman teroris.
Anggota DPR dari faksi Republik Michael McCaul mengatakan, “Kita memiliki sasaran yang sama, dan mungkin hanya memiliki sedikit perbedaan dari segi cara mencapainya. Kita juga harus menghindari sikap yang meremehkan tentang “perang tak berkesudahan” karena hal itu menyiratkan bahwa kegiatan kontra-terorisme kita merupakan hal yang ilegal dan tidak perlu.”
Ketika menjadi senator, Biden mengupayakan pengawasan Kongres yang lebih besar terhadap kewenangan presiden untuk menyatakan perang. Kini ketika ia menjabat sebagai orang nomor satu di Amerika, ada harapan agar Kongres dapat menegaskan kembali kendali atas salah satu tanggung jawab terpentingnya.
Mantan penasihat Gedung Putih Bob Bauer mengatakan, “Saya melihat hal itu sebagai pertanyaan mendasar dalam kerangka berterus terang pada rakyat Amerika dan menuntut pertanggungjawaban presiden atas justifikasi (perlunya menyatakan perang atau melakukan serangan.red) yang diusulkannya.”
Suatu komite utama di Senat setuju untuk mencabut kewenangan itu awal musim panas ini, memuluskan jalan bagi pemungutan suara penuh ketika masa reses berarhir dan Senat kembali bekerja pada bulan September ini. [em/jm]