Dalam keterangan persnya di Jakarta Selasa sore (13/11) Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Navi Pillay mengatakan, ia telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan menegaskan bahwa Komisi Tinggi HAM PBB meminta pemerintah Indonesia membuka kembali penyelidikan atas kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib.
Hal itu termasuk meninjau kembali proses peradilan atas mantan deputi Badan Intelijen Negara (BIN) Mayjen Purnawirawan Muchdi Purwopranjono, ujarnya.
“Saya mengatakan kepada menteri luar negeri bahwa dunia menunggu keadilan untuk penjuang hak asasi manusia Munir Said Thalib, yang dibunuh pada 2004. Saya meminta penyelidikan baru atas pembunuhan itu, dan peninjauan kembali proses peradilan atas Muchdi Purwopranjono dan memastikan ada tanggung jawab yang jelas atas pembunuhan itu,” kata Pillay.
Pillay datang ke Indonesia untuk menghadiri Bali Democracy Forum. Selain soal kasus Munir, Pillay juga mendorong pemerintah untuk menyelidiki kasus penghilangan paksa para aktivis mahasiswa di akhir 1990-an dan kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua.
Suciwati, istri mendiang Munir kepada VOA mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya malu dengan adanya permintaan dari dunia internasional dalam kasus ini. Apalagi, menurutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berjanji segera menuntasan kasus ini.
“Ini bukan hal yang baru sebenarnya. Ini seharusnya menjadi hal yang penting buat pemerintah Indonesia. Ini sudah jadi agenda dunia internasional. Harusnya Pemerintah Indonesia malu ya kalau ini sampai tidak selesai,” ujar Suciwati.
“SBY pernah bilang kasus ini menjadi test of our history yang artinya akan melakukan penuntasan. Namun setelah kita lihat, pengadilan yang ada dalam kasus ini, tidak serius dilakukan.”
Sebelumnya pada 2009, pengajuan kasasi kejaksaan atas putusan bebas Muchdi dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir kandas setelah Mahkamah Agung (MA) menyatakan tidak menerima permohonan kasasi tersebut. MA berdalih bahwa alasan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam menerapkan hukum sudah tepat.
Kejaksaan Agung pernah menyatakan berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) vonis bebas atas diri Muchdi Purwopranjono, namun hingga kini belum dilakukan. Wakil Jaksa Agung Darmono kepada VOA mengakatan pihaknya belum memiliki novum atau bukti baru yang cukup.
“Sampai dengan saat ini Kejaksaan belum mempunyai alasan hukum untuk melakukan Pengajuan Kembali dalam kasus Munir itu. Yang dimaksud alasan hukum itu tidak lain adalah berupa temuan-temuan baru keadaan-keadaan baru yang selama ini dikenal dengan novum yang dapat dijadikan sebagai landasan atau alasan untuk mengajukan PK. Yang dimaksud novum baru itu adalah keadaan-keadaan baru yang pada waktu pemeriksaan dulu belum pernah terungkap,” ujar Darmono.
Menanggapi hal itu, Suciwati mengatakan pada Mei lalu dirinya bersama aktivis pegiat HAM yang tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir, telah bertemu dengan Jaksa Agung untuk menyampaikan beberapa temuan yang sekiranya bisa di jadikan bukti baru untuk PK. Namun hingga kini, menurutnya, temuan-temuan baru itu tidak ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.
“Percakapan antara Polycarpus Budi Hari Priyanto (terpidana pembunuh Murnir) dengan Muchdi yang waktu itu kami dengar Jaksa sudah memiliki, namun itu tidak muncul. Itu ke mana? itu pertanyaannya.. Itu seharusnya bisa dipakai sebagai novum karena tidak pernah muncul di pengadilan,” ujar Suciwati.
Yang kedua, tambahnya, ketika Muchdi dibebaskan karena dia mempunyai alibi pergi ke Malaysia pake paspor hijau.
“Muchdi bilang bahwa saat itu dia ditugaskan oleh BIN. Kejanggalannya adalah, kalo memang ditugaskan, harusnya memakai paspor biru. Yang kedua adalah, ketika kami melakukan gugatan kepada BIN lewat Komisi Informasi Publik, BIN menyatakan mereka tidak pernah menugaskan Muchdi ke Malaysia pada 2 sampai 6 September 2004 ke Malaysia (Munir tewas pada 7 September 2004). Itu semua kan bisa jadi bukti baru. Saya tidak tahu kenapa tidak ditindaklanjuti,” ujar Suciwati.
Hal itu termasuk meninjau kembali proses peradilan atas mantan deputi Badan Intelijen Negara (BIN) Mayjen Purnawirawan Muchdi Purwopranjono, ujarnya.
“Saya mengatakan kepada menteri luar negeri bahwa dunia menunggu keadilan untuk penjuang hak asasi manusia Munir Said Thalib, yang dibunuh pada 2004. Saya meminta penyelidikan baru atas pembunuhan itu, dan peninjauan kembali proses peradilan atas Muchdi Purwopranjono dan memastikan ada tanggung jawab yang jelas atas pembunuhan itu,” kata Pillay.
Pillay datang ke Indonesia untuk menghadiri Bali Democracy Forum. Selain soal kasus Munir, Pillay juga mendorong pemerintah untuk menyelidiki kasus penghilangan paksa para aktivis mahasiswa di akhir 1990-an dan kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua.
Suciwati, istri mendiang Munir kepada VOA mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya malu dengan adanya permintaan dari dunia internasional dalam kasus ini. Apalagi, menurutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berjanji segera menuntasan kasus ini.
“Ini bukan hal yang baru sebenarnya. Ini seharusnya menjadi hal yang penting buat pemerintah Indonesia. Ini sudah jadi agenda dunia internasional. Harusnya Pemerintah Indonesia malu ya kalau ini sampai tidak selesai,” ujar Suciwati.
“SBY pernah bilang kasus ini menjadi test of our history yang artinya akan melakukan penuntasan. Namun setelah kita lihat, pengadilan yang ada dalam kasus ini, tidak serius dilakukan.”
Sebelumnya pada 2009, pengajuan kasasi kejaksaan atas putusan bebas Muchdi dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir kandas setelah Mahkamah Agung (MA) menyatakan tidak menerima permohonan kasasi tersebut. MA berdalih bahwa alasan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam menerapkan hukum sudah tepat.
Kejaksaan Agung pernah menyatakan berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) vonis bebas atas diri Muchdi Purwopranjono, namun hingga kini belum dilakukan. Wakil Jaksa Agung Darmono kepada VOA mengakatan pihaknya belum memiliki novum atau bukti baru yang cukup.
“Sampai dengan saat ini Kejaksaan belum mempunyai alasan hukum untuk melakukan Pengajuan Kembali dalam kasus Munir itu. Yang dimaksud alasan hukum itu tidak lain adalah berupa temuan-temuan baru keadaan-keadaan baru yang selama ini dikenal dengan novum yang dapat dijadikan sebagai landasan atau alasan untuk mengajukan PK. Yang dimaksud novum baru itu adalah keadaan-keadaan baru yang pada waktu pemeriksaan dulu belum pernah terungkap,” ujar Darmono.
Menanggapi hal itu, Suciwati mengatakan pada Mei lalu dirinya bersama aktivis pegiat HAM yang tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir, telah bertemu dengan Jaksa Agung untuk menyampaikan beberapa temuan yang sekiranya bisa di jadikan bukti baru untuk PK. Namun hingga kini, menurutnya, temuan-temuan baru itu tidak ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.
“Percakapan antara Polycarpus Budi Hari Priyanto (terpidana pembunuh Murnir) dengan Muchdi yang waktu itu kami dengar Jaksa sudah memiliki, namun itu tidak muncul. Itu ke mana? itu pertanyaannya.. Itu seharusnya bisa dipakai sebagai novum karena tidak pernah muncul di pengadilan,” ujar Suciwati.
Yang kedua, tambahnya, ketika Muchdi dibebaskan karena dia mempunyai alibi pergi ke Malaysia pake paspor hijau.
“Muchdi bilang bahwa saat itu dia ditugaskan oleh BIN. Kejanggalannya adalah, kalo memang ditugaskan, harusnya memakai paspor biru. Yang kedua adalah, ketika kami melakukan gugatan kepada BIN lewat Komisi Informasi Publik, BIN menyatakan mereka tidak pernah menugaskan Muchdi ke Malaysia pada 2 sampai 6 September 2004 ke Malaysia (Munir tewas pada 7 September 2004). Itu semua kan bisa jadi bukti baru. Saya tidak tahu kenapa tidak ditindaklanjuti,” ujar Suciwati.