Serangan bom di ibukota Libya yang menewaskan sedikitnya 44 orang dan mencederai lebih dari 130 orang pada Selasa malam (2/7) mungkin dapat dianggap sebagai kejahatan perang, kata para pejabat PBB. Sebagian laporan menyebutkan jumlah korban tewas mencapai 55 orang.
Di luar pusat penahanan di pinggiran kota Tripoli, para penyintas pada hari Rabu (3/7) mengawasi para investigator memeriksa puing-puing. Para penyintas semalaman berada di luar pusat penahanan itu, dengan makanan dan air yang sangat minim.
“Kami hanya menginginkan perdamaian,” kata seorang perempuan Somalia yang berlindung di bawah pohon. “Kami berangkat dari Somalia ke Yaman, lalu ke Sudan dan kemudian tiba di sini. Ini sama seperti di Somalia.”
Di kamar jenazah di ibukota Libya, mayat-mayat dipersiapkan untuk pemeriksaan forensik, sementara korban cedera dirawat di rumah sakit, sebagian dalam keadaan setengah sadar.
Para penyintas mengatakan serangan itu terjadi sekitar pukul 11:30 malam hari Selasa. Mereka menyatakan kerap mendengar drone terbang di atas kompleks tahanan tersebut dalam beberapa pekan belakangan.
“Pada mulanya kami mendengar bentrokan di kejauhan, lalu kami mendengar ledakan kuat bom,” kata Saddam, remaja 18 tahun asal Sudan yang telah ditahan selama satu tahun.
Para pejabat Tripoli mengaitkan serangan tersebut dengan pasukan yang setia kepada Khalifa Haftar, orang berpengaruh yang memimpin militer di Libya Timur.
Pasukan Haftar terlibat dalam pertempuran melawan pasukan yang setia kepada pemerintah dukungan internasional di ibukota, Tripoli, selama tiga bulan ini. Mereka bertempur untuk memperebutkan kota itu serta masa depan pemerintah Libya.
Perang itu telah menewaskan sekitar 700 orang dan menelantarkan 94 ribu lainnya. [uh/lt]