Pihak berwenang Kamerun mengatakan para pejuang separatis telah menduduki sejumlah sekolah di wilayah barat laut yang berbahasa Inggris, menggunakannya untuk pelatihan dan bersembunyi dari militer.
Berbicara kepada wartawan pada hari Minggu (21/7) Kepala pendidikan dasar Kamerun untuk wilayah barat laut, Wilfred Wambeng Ndong mengatakan, "Kami memiliki sekitar 48 sekolah yang telah dihancurkan dan 53 sekolah lainnya yang saat ini diduduki. Terkait guru, kami meragukan keberadaan tiga ribu lebih guru di sekolah yang tidak berfungsi."
Ia mengatakan jumlah murid di wilayah tersebut menurun dari 422.000 pada 2017 menjadi 5.500 tahun ini dan sebagian besar di kota-kota yang lebih aman seperti Bamenda dan Nkambe.
Separatis Kamerun pada postingan dimedia sosial menyangkal menduduki sekolah-sekolah itu tetapi mengatakan mereka dikerahkan ke daerah-daerah yang rawan serangan militer.
Pemberontak berbahasa Inggris telah menyerang banyak sekolah selama dua tahun terakhir, dalam beberapa kasus menculik guru dan siswa.
Komandan pasukan pemerintah di barat laut, Jenderal Robbinson Agha, mengatakan militer akan memastikan semua sekolah aman sebelum 3 September, ketika tahun ajaran dimulai. Ia mengatakan tentara akan membunuh semua pemberontak yang tidak melucuti senjatanya dan menyerah.
"Kami telah mendapat instruksi tegas dari pejabat yang lebih tinggi untuk mengejar mereka di tempat persembunyian mereka. Situasi ini harus berakhir. Kita tidak bisa menerima orang menghancurkan jalan, membakar jembatan, membakar sekolah," ujar Agha.
Kamerun mengatakan para pemberontak telah membakar lebih dari 130 sekolah sementara separatis menuduh militer membakar sekolah-sekolah untuk mengusir mereka dari persembunyian.
Militer membantah tuduhan itu. Selama sebulan terakhir, pemerintah dan masyarakat telah menyerukan agar sekolah dibuka kembali. Jude Mbaku, seorang juru kampanye untuk gerakan Educate Them Now , mengatakan sangat penting bagi pasukan dan pemberontak untuk mempertimbangkan agar sekolah ditetapkan sebagai zona bebas militer.
Konflik di wilayah Kamerun yang berbahasa Inggris bermula tahun 2016 ketika para guru dan pengacara memprotes dominasi bahasa Perancis dan pejabat yang berbahasa Perancis di negara yang menggunakan dua bahasa itu.
Separatis bersenjata pada tahun 2017 mulai menuntut negara bagian terpisah yang berbahasa Inggris dengan mengatakan jika tuntutan mereka tidak dipenuhi akan membuat daerah itu tidak bisa dikuasai pemerintah.
Lebih dari 2.000 orang, termasuk tentara dan polisi tewas dalam kekerasan yang sejak itu meningkat. (my/al)